Wednesday, 15 August 2007

Suramnya Bayang Bayang 492

“Ah, kau ini ada-ada saja,” desis perempuan itu.
“Bukan lagi kebiasaanku,” jawab Iswari. “Hanya sekali ini. Setiap hari aku memanggilnya dengan namanya.”
“Panggilan itu tidak berpengaruh,” desis perempuan yang disebut Serigala Betina itu.

Demikianlah, maka iring-iringan itu pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka ke padukuhan sebelah. Mereka sempat kebar di sudut padukuhan dan memanggil orang-orang padukuhan itu untuk berkerumun. Tetapi tidak seorang pun di antara orang-orang padukuhan itu, sebagaimana padukuhan-padukuhan yang lain, yang berani minta rombongan itu untuk menari di halaman rumahnya, karena mereka masih dibayangi perintah Ki Wiradana untuk menangkap orang-orang yang dianggap menggelisahkan Tanah Perdikan itu.
Meskipun demikian mereka tidak dapat menahan diri untuk pergi ke sudut padukuhan itu menyaksikan pertunjukkan yang sangat menarik dan menumbuhkan ketegangan di dalam hati mereka, justru karena penarinya menurut mereka adalah Nyai Wiradana itu sendiri.
Dua tiga padukuhan dilalui malam itu. Ternyata bahwa rombongan itu pun tidak melanjutkan perjalanan mereka ke Tanah Perdikan, karena mereka pun segera meninggalkan perbatasan menuju ke padepokan kecil mereka.
Namun satu hal telah mereka ketahui, bahwa Pajang sudah siap untuk mulai dengan permainannya. Karena itu maka segalanya harus dipersiapkannya dengan sebaik-baiknya. Begitu pasukan Pajang mulai mengusik prajurit Jipang, maka di Tanah Perdikan itu pun harus dimulai pada langkah-langkah yang serupa.
Dan itu akan terjadi segera setelah Ki Wirajaya sampai di Pajang.
Sebenarnyalah, bahwa di Pajang segala persiapan telah dilakukan. Mereka hanya menunggu Ki Tumenggung Wirajaya yang mengadakan hubungan dengan Tanah Perdikan Sembojan. Ketika Ki Tumenggung melampaui batas waktu yang ditentukan, maka para pemimpin di Pajang menjadi cemas, bahwa telah terjadi sesuatu dengan Ki Tumenggung. Namun di samping itu, pasukan Pajang pun telah mendapat perintah untuk bergerak setiap saat.
Tetapi pada saat yang paling menegangkan, maka Ki Tumenggung Wirajaya yang telah mereka tunggu itu pun datang. Dengan senyum di bibirnya ia hadir di barak yang menjadi pusat pembicaraan para manggala di Pajang untuk mengambil keputusan-keputusan dalam hubungannya dengan kehadiran pasukan Jipang.
“Aku terlambat setengah malam,” berkata Ki Tumenggung.
“Kami sudah merasa sangat cemas,” jawab seorang Senopati, “Kami sudah memutuskan untuk membicarakan langkah-langkah yang akan kami ambil.”
“Jadi kalian sudah mengambil keputusan?” bertanya Ki Tumenggung.
“Kami baru memutuskan untuk mengambil keputusan. Kau mengerti maksudku?” jawab Senopati itu.
Ki Tumenggung Wirajaya yang selalu tersenyum itu tersenyum pula. Katanya, “Istilahmu cukup berbelit-belit. Tetapi aku mengerti. Dan dengan demikian aku masih mendapat kesempatan untuk ikut berbicara bersama kalian.”
Demikianlah, maka malam itu juga telah dilakukan pembicaraan penting tentang langkah-langkah yang akan diambil Pajang untuk menghadapi perkembangan keadaan. Ki Wirajaya pun telah melaporkan hasil perjalanannya ke Tanah Perdikan Sembojan. Ia baru dapat bertemu dengan Kiai Badra para saat terakhir dari kunjungannya ke Tanah Perdikan Sembojan.
“Baiklah,” berkata panglima pasukan Pajang, “Kita akan mulai dengan rencana kita. Jika orang-orang yang disebut oleh Ki Tumenggung Wirajaya di Tanah Perdikan Sembojan melakukan langkah-langkah sebagaimana telah disepakati, maka Tanah Perdikan Sembojan tidak akan mengirimkan pasukan tambahan ke Pajang, dan sebaliknya pasukan Tanah Perdikan yang sudah telanjur berada disini tidak akan dikirim kembali ke Tanah Perdikan untuk membantu dan menegakkan kedudukan pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan yang curang itu.”
“Ya,” sahut Ki Tumenggung Wirajaya. “Rencana itu dapat dilaksanakan. Aku yakin, bahwa rencana itu akan dapat berjalan juga di Tanah Perdikan.”
(Bersambung)-m

No comments: