Wednesday 15 August 2007

Suramnya Bayang Bayang 441

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Besok bawalah Kiai Badra ini kembali kepadaku.”
Demikianlah, maka Kiai Badra pun kemudian mohon diri bersama Gandar dan sahabatnya, orang Pajang itu. Dengan penuh harapan Kiai Badra harus menunggu sampai esok.

“Nah, aku menagih janji,” berkata sahabatnya.

“Apa?” bertanya Kiai Badra.

“Kau memang sudah pikun,” jawab sahabatnya itu. “Bukankah kau berjanji untuk tinggal di rumahku ini? He orang di rumah tentu sudah menyembelih tiga ekor ayam hari ini.”

“Tiga?” ulang Kiai Badra.

“Ya. Kami ingin menjamu kalian,” berkata sahabatnya itu.

“Tetapi tiga ekor,” desis Kiai Badra.

“Bukankah biasanya kau sendiri menghabiskan seekor ayam?” bertanya sahabat Kiai Badra itu.

Kiai Badra tertawa. Gandar pun ikut tertawa. Tetapi dengan nada rendah sahabat Kiai Badra berkata, “Memang tiga ekor. Tetapi ayam kemanggang.”

“Uh,” desis Gandar. “Ketiganya aku sanggup menghabiskannya.

Ketiga orang itu tertawa.

Malam itu Kiai Badra dan Gandar bermalam di rumah sahabatnya. Ternyata bahwa sahabat Kiai Badra itu juga menaruh minat atas keadaan Tanah Perdikan Sembojan, sehingga karena itu, maka ia pun akan ikut berusaha untuk meyakinkan, agar pajang menyetujui rencana Kiai Badra. Atas nama cicitnya, merebut kembali Tanah Perdikan Sembojan dari kekuasaan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang justru adalah keluarga Kalamerta. Bahkan Gandar pun berkata, “Satu kemungkinan, bahwa kematian Ki Gede Sembojan pun telah direncanakan dari dalam.”

“Aku memastikannya,” desis sahabat Kiai Badra.

Dengan demikian, maka Kiai Badra telah memantapkan tekadnya untuk berbuat sebagaimana dikatakannya. Merebut kembali, jika perlu dengan kekerasan. Kesempatan yang ada justru memberikan peluang yang seluas-luasnya karena kekuatan Tanah Perdikan Sembojan berada di Pajang.

Malam rasa-rasanya berjalan lamban sekali. Kiai Badra ingin segera bertemu kembali dengan Ki Tumenggung Wirajaya untuk mendapat keterangan, apakah pajang setuju jika Kiai Badra akan mengambil alih pemerintahan di Sembojan dengan kekerasan.

Namun akhirnya malam pun berakhir. Meskipun rasa-rasanya matahari malas sekali naik ke atas punggung pegunungan, tetapi Kiai Badra sudah merasa tenang, bahwa sebentar lagi ia akan mendengar kepastian itu dari Tumenggung Wirajaya.

Memang agak tergesa-gesa bahwa sebelum matahari memanjat sepenggalah, keduanya telah pergi ke rumah Ki Tumenggung Wirajaya, diikuti oleh Gandar.

Kedatangan mereka disambut dengan senyum sebagaimana yang selalu tampak dibibir Ki Tumenggung yang ramah itu. Kemudian ketiganya dipersilakan menunggu di ruang dalam.

Demikian Ki Tumenggung menemui mereka, maka dengan serta merta Kiai Badra pun bertanya, “Maaf Ki Tumenggung”. Rasa-rasanya seperti kanak-kanak yang menunggu oleh-oleh dari ibunya yang pergi ke pasar. “Seakan-akan aku tidak sabar lagi. Karena perkenanlah aku mendengar keputusan yang telah diambil?”

Ki Tumenggung tersenyum, katanya, “Baiklah Kiai. Aku mengerti kegelisahan yang selama ini bergejolak di dalam dada Kiai. Langkah yang salah yang diambil oleh Ki Wiradana memang akan dapat berakibat kurang baik bagi anaknya. Apalagi sekarang Ki Wiradana mempunyai dua orang anak laki-laki. Yang seorang adalah anak laki-laki yang sehari-harinya dikenal sebagai anaknya yang akan berhak menggantikan kedudukannya, sementara yang seorang meskipun tidak dikenal oleh orang-orang Sembojan, namun justru mempunyai pertanda jabatan Kepala Tanah Perdikan.”

“Ya Ki Tumenggung,” jawab Kiai Badra. “Tetapi kami mohon satu keputusan yang adil. Karena meskipun tidak dikenal, tetapi anak Iswari itu adalah juga anak Wiradana.”

“Ya. Ya. Aku mengerti Kiai Badra,” jawab Ki Tumenggung. “Bahkan menurut urutan kelahiran, maka anak cucu Kiai telah lahir lebih dahulu dari seorang istri yang masih dapat dianggap sah, karena Iswari masih belum diceraikan. Justru karena ia dianggap mati.” (Bersambung)-k.

Suramnya Bayang Bayang 442
Tanggal: Selasa, 09-09-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)


“Jadi, bagaimanakah keputusan Ki Tumenggung?” desak Kiai Badra.
Ki Tumenggung Wirajaya tertawa. Katanya, “Baiklah Kiai. Persoalan yang Kiai bawa telah aku sampaikan dalam satu pertemuan terbatas antara para pemimpin Pajang yang tidak ikut Kanjeng Adipati Hadiwijaya.”

“Dan hasilnya?” Kiai Badra tidak sabar.
Ki Tumenggung Wirajaya tertawa lebih keras, sementara Kiai Badra berkata, “Ki Tumenggung sengaja membuat jantungku rontok.”
“Baiklah Kiai. Aku akan mengabarkan hasil pembicaraanku,” berkata Ki Tumenggung. Lalu, “Sebenarnyalah persoalan yang Kiai Badra kemukakan itu sangat menarik. Sebagian dari para pemimpin dengan serta merta menanggapi rencana Kiai dengan baik. Bahkan akhirnya kami memutuskan mendahului keputusan Kanjeng Adipati, bahwa Kiai bukan saja dibenarkan untuk merebut kembali Tanah Perdikan Sembojan dari tangan-tangan orang yang sekarang ini membayangi kekuasaan Ki Wiradana, tetapi Kiai mendapat perintah untuk melakukannya.”
“Jadi Pajang justru memberikan perintah itu?” bertanya Kiai Badra.
“Ya,” jawab Ki Tumenggung.
“Terima kasih Ki Tumenggung. Tetapi jangan kepadaku. Berikan perintah itu kepada Iswari, cucuku,” berkata Kiai Badra.
“Kamilah yang memberikan perintah itu. Sekarang Kiai memerintahkan kepadaku,” jawab Ki Tumenggung
“O, maaf Ki Tumenggung. Perasaanku terlalu bergejolak. Aku mohon maaf,” desis Kiai Badra.
Ki Tumenggung tersenyum. Katanya, “Tetapi baiklah. Usul itu dapat aku terima. Pajang memberikan perintah kepada Iswari, cucu Kiai Badra untuk atas nama anak laki-lakinya merebut kembali Pajang dari pengaruh Jipang.”
“Terima kasih Ki Tumenggung. Terima kasih,” berkata Kiai Badra.
“Sebagai kelengkapan perintah itu, maka Kiai Badra akan mendapat tunggul pertanda dari Pajang,” berkata Ki Tumenggung kemudian.
Dada Kiai Badra rasa-rasanya telah bergejolak. Dengan nada dalam ia berkata,”Kami akan menjalankan perintah itu sebaik-baiknya dengan taruhan yang paling berharga yang dapat kami berikan.”
Ki Tumenggung Wirajaya kemudian berkata, “Kiai. Aku akan memberikan tunggul itu kepada Kiai sekarang. Apakah Kiai akan dapat membawanya ke padepokan Kiai. Atau tunggul itu akan Kiai titipkan disini sampai saatnya Kiai dapat mengambil?”
“Aku akan membawanya,” berkata Kiai Badra. “Dengan demikian maka semua gerakan kami menjadi sah. Atas nama Pajang dan bagi masa depan Tanah Perdikan Sembojan.”
Tetapi sahabat Kiai Badra itu berdesis, “Bagi masa depan Sembojan atau bagi masa depan cicit Kiai itu?”
Wajah Kiai Badra menegang sejenak. Namun ia pun kemudian tersenyum. Katanya, “Bukankah pada awal pembicaraan ini aku sudah mengatakan bahwa aku pun telah membawa pamrih pribadi?”
Ki Tumenggung Wirajayalah yang kemudian menengahi, “Tidak ada salahnya dengan pamrih pribadi, asal pamrih pribadi itu dilandasi dengan niat yang baik dan berjalan di jalur kebenaran. Bukan sekadar kebenaran bagi kepentingan diri sendiri. Tetapi kebenaran dalam pengertian hubungan antara sesama, meskipun hal itu belum tentu berarti kebenaran yang mutlak.”
Kiai Badra mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Tumenggung berkata, “Tunggulah. Aku akan mengambil tunggul itu. Tetapi aku berpesan, agar Kiai membawanya dengan hati-hati. Kiai tidak perlu lagi melihat pasukan Tanah Perdikan Sembojan yang cukup besar yang bergabung dengan pasukan Jipang yang jumlahnya hanya sedikit itu untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi.”
“Ya Ki Tumenggung. Karena aku membawa tunggul Kadipaten, maka aku akan mencari jalan yang paling aman. Agar tunggul itu dapat sampai ketangan orang yang berhak melaksanakan perintah Pajang,” jawab Kiai Badra.
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Aku berharap perintah itu dapat dilakukan sebaik-baiknya. Kami, yang telah memberanikan diri mendahului perintah Kanjeng Adipati, akan mempertanggung jawabkannya di tataran pemerintahan Pajang jika kalian benar-benar melakukanya dengan jujur.
Tetapi jika ternyata ada langkah-langkah yang miring dari persoalan ini, maka mungkin sekali akulah yang akan digantung oleh Kanjeng Adipati.”
(Bersambung)-m

Suramnya Bayang Bayang 443
Tanggal: Rabu, 10-09-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)


“Kami akan menjunjung perintah ini sebaik-baiknya,” jawab Kiai Badra.
“Berpegang kepada pertanda pemerintahan di Tanah Perdikan Sembojan, maka anak Wiradana itu akan mendapat perhatian justru lebih besar dari Wiradana sendiri,” berkata Ki Tumenggung. “Namun segalanya akan dapat diatur kemudian setelah tugas kalian selesai. Demikian pula, setelah persoalan Demak dapat diselesaikan pula, sehingga Kanjeng Adipati mendapat kesempatan yang cukup.”

Kiai Badra justru menjadi berdebar-debar. Rasa-rasanya ia sudah tidak sabar lagi untuk mengambil langkah-langkah yang sesuai dengan perintah dari Pajang itu, bahwa atas nama anaknya, Iswari harus merebut kembali Tanah Perdikan Sembojan dari pengaruh Jipang serta menyingkirkan orang-orang yang telah membayangi kekuasaan Kepala Tanah Perdikan Sembojan itu.
Namun tugas itu memberikan harapan kepadanya, bahwa masa depan Tanah Perdikan itu sendiri akan semakin baik.
Dengan demikian maka Kiai Badra pun segera mohon diri. Beberapa pesan masih disampaikan oleh Ki Tumenggung Wirajaya yang bertanggung jawab atas perintah yang disampaikan kepada Iswari lewat Kiai Badra itu terhadap Kanjeng Adipati kelak.
“Kami akan melakukannya sejauh kemampuan yang ada pada kami,” berkata Kiai Badra kemudian.
Sejenak kemudian maka Kiai Badra dan Gandar pun telah berada di rumah sahabat Kiai Badra itu. Mereka masih akan berada di rumah itu untuk semalam lagi. Besok sebelum matahari terbit mereka akan kembali ke padepokan kecil mereka.
“Barhati-hatilah,” pesan sahabat Kiai Badra. “Perjalananmu dibayangi tugas yang sangat berat bagi Tanah Perdikan Sembojan. Tunggul itu tidak boleh terlepas dari tanganmu jika kau tidak ingin digantung oleh Ki Tumenggung Wirajaya.”
“Jika tunggul ini terlepas dari tanganku, Pajang tidak akan sempat menggantungku,” jawab Kiai Badra.
“Kenapa?” bertanya sahabatnya.
“Lepasnya tunggul ini akan berbareng dengan pecatnya nyawaku,” jawab Kiai Badra. Lalu, “Sudah tentu Pajang tidak akan menggantung tubuhku.”
Sahabatnya tersenyum. Namun katanya, “Siapa tahu tubuhmu akan dijadikan pengawen-awen.”
“Dan kau akan mengerahkan rakyat Pajang untuk menyaksikannya,” sahut Kiai Badra.
Sahabatnya tertawa. Namun kemudian Kiai Badra dan Gandar pun tertawa pula.
Dalam pada itu, ketika malam tiba, Kiai Badra dan Gandar berusaha untuk beristirahat sebaik-baiknya. Sebagaimana mereka rencanakan, maka sebelum fajar, mereka telah meninggalkan rumah sahabat mereka di Pajang, untuk menempuh perjalanan kembali. Perjalanan yang menyandang pesan bagi masa depan Tanah Perdikan Sembojan.
Karena itu, maka Kiai Badra dan Gandar justru telah mencari jalan yang paling aman. Mereka menempuh jalan-jalan simpang yang tidak begitu banyak dilalui orang, sehingga tunggul yang mereka bawa dibawah selongsong kain putih, tidak banyak menarik perhatian.
Meskipun demikian, satu dua orang yang berpapasan, serta jika mereka terpaksa melewati pedukuhan-pedukuhan kecil yang tidak dapat mereka hindari, ada saja orang yang bertanya, apa yang mereka bawa itu.
“Tombak,” jawab Kiai Badra.
“Untuk apa?” bertanya seseorang.
“Tombak ini ternyata tidak memberikan tuah yang baik bagi keluarga kami,” jawab Kiai Badra. “Menurut pendapat seorang tua, tombak ini harus dilarung.”
“Dilarung dimana?” bertanya orang itu.
“Di goa Karang Ludes,” jawab Kiai Badra.
“Goa itu terletak dimana?” orang itu masih bertanya.
“Dibawah permukaan air laut di Lautan Selatan. Pada saat air surut, maka goa itu baru kelihatan,” jawab Kiai Badra.
“Sayang,” desis orang itu. “Tombak dibalik selongsong itu tentu tombak yang sangat baik ujudnya menilik pangkal landasannya yang agaknya dibuat dari logam yang mahal.” (Bersambung)-m

Suramnya Bayang Bayang 444
Tanggal: Kamis, 11-09-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)


Kiai Badra mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa orang itu telah memperhatikan pangkal pandean tombak yang dibalut oleh logam yang berwarna kuning keemasan.

Namun untuk meyakinkan orang itu, maka Kiai Badra berkata, “Jika kau tertarik akan tombak ini, apakah kau mau mengambilnya? Tetapi jika terjadi sesuatu dengan keluargamu, bukan tanggung jawabku.”
“Terjadi apa?” bertanya orang itu.
“Entahlah. Apa saja,” jawab Kiai Badra.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Jika tombak itu memang harus dilarung, biarlah dilarung, agar tidak menimbulkan persoalan dihari kemudian.”
Kiai Badra mengangguk-angguk. Namun setelah mereka membelakangi orang itu Gandar tersenyum sambil berkata, “dapat juga Kiai berbohong.”
Kiai Badra tersenyum juga. Jawabnya, “Satu-satunya cara yang tidak menimbulkan persoalan.”
“Ya Kiai. Meskipun berbohong tetapi dengan meyakinkan, maka orang lain pun akan percaya,” desis Gandar sambil tertawa.
Kiai Badra pun tertawa juga sambil berkata, “Jawaban yang dapat diulangi setiap ada orang yang bertanya.”
Gandar mengangguk-angguk. Namun ia berkata, “Tetapi mungkin ada juga seseorang yang menjawab lain.”
“Apa maksudmu?” bertanya Kiai Badra.
“Jika Kiai menawarkan tunggul itu, dan orang yang Kiai tawari itu menjawab ya, apa yang akan Kiai lakukan?” bertanya Gandar.
“Membawanya lari,” jawab Kiai Badra sambil tertawa.
Gandar pun tertawa juga. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. Menurut pendapatnya, orang-orang yang akan mempertanyakan tunggul itu akan puas mendengar jawaban Kiai Badra.
Ternyata karena perjalanan mereka yang melingkar-lingkar, mereka telah menempuh perjalanan yang semakin panjang. Mereka harus bermalam diperjalanan pada jarak yang masih cukup jauh.
Tetapi bermalam disembarang tempat bukan merupakan persoalan bagi Kiai Badra dan Gandar.
Namun demikian, di luar sadar kedua orang itu, ternyata ada juga orang yang menaruh perhatian terhadap tunggul yang dibawa oleh Kiai Badra itu. Justru bukan orang kebanyakan yang dengan terbuka telah bertanya tentang benda yang dibawa itu. Tetapi ternyata empat orang yang berpapasan dengan Kiai Badra dan Gandar menjelang sore hari, sangat memperhatikan tunggul yang berada dibawah selongsong putih itu.
“Kau lihat, apa yang dibawa oleh orang tua itu?” bertanya salah seorang di antara mereka.
“Mungkin sebangsa tombak,” jawab kawannya. “Apakah kau memperhatikannya?”
“Ya,” jawab yang lain. “Aku melihatnya. Selongsongnya tidak menutup seluruh landeannya. Aku melihat pangkal landean yang mencuat ke luar dari selongsongnya.”
“Menarik sekali,” jawab seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan berjambang lebat, “Jika demikian apakah perjalanan kita tunda?”
“Aku setuju,” desis kawannya. “Kita masih akan dapat merampoknya besok. Orang itu tidak akan tergesa-gesa berpindah rumah. Bahkan jika usaha kita mendapatkan tombak itu cepat selesai, kita masih mempunyai waktu.”
“Tidak. Kita akan merampasnya nanti jika malam turun. Kita tidak akan sempat lagi pergi ke sasaran kita semula. Biarlah besok saja kita mengambil isi rumah itu. Bukankah tidak ada batas waktu dan tidak ada perhitungan hari?” berkata yang lain.
“Tidak ada perhitungan hari. Tetapi kita harus memperhitungkan waktu bagi hari-hari tertentu. Malam ini kita mempunyai waktu menjelang saat tengah malam. Tetapi jika kita melakukannya besok, kita harus membuat perhitungan lagi. Mungkin kita baru boleh melakukannya setelah tengah malam, atau justru pada saat ayam berkokok untuk kedua kalinya,” sahut kawannya.
Ternyata keempat orang itu bersepakat untuk mengurungkan pekerjaan yang akan dilakukannya. Mereka lebih tertarik kepada tombak yang berada di dalam selongsong itu. Menilik ujud pangkal landeannya, tombak itu tentu merupakan benda yang sangat berharga. (Bersambung)-m


Suramnya Bayang Bayang 444
Tanggal: Kamis, 11-09-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)


Kiai Badra mengerutkan keningnya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa orang itu telah memperhatikan pangkal pandean tombak yang dibalut oleh logam yang berwarna kuning keemasan.

Namun untuk meyakinkan orang itu, maka Kiai Badra berkata, “Jika kau tertarik akan tombak ini, apakah kau mau mengambilnya? Tetapi jika terjadi sesuatu dengan keluargamu, bukan tanggung jawabku.”
“Terjadi apa?” bertanya orang itu.
“Entahlah. Apa saja,” jawab Kiai Badra.
Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Jika tombak itu memang harus dilarung, biarlah dilarung, agar tidak menimbulkan persoalan dihari kemudian.”
Kiai Badra mengangguk-angguk. Namun setelah mereka membelakangi orang itu Gandar tersenyum sambil berkata, “dapat juga Kiai berbohong.”
Kiai Badra tersenyum juga. Jawabnya, “Satu-satunya cara yang tidak menimbulkan persoalan.”
“Ya Kiai. Meskipun berbohong tetapi dengan meyakinkan, maka orang lain pun akan percaya,” desis Gandar sambil tertawa.
Kiai Badra pun tertawa juga sambil berkata, “Jawaban yang dapat diulangi setiap ada orang yang bertanya.”
Gandar mengangguk-angguk. Namun ia berkata, “Tetapi mungkin ada juga seseorang yang menjawab lain.”
“Apa maksudmu?” bertanya Kiai Badra.
“Jika Kiai menawarkan tunggul itu, dan orang yang Kiai tawari itu menjawab ya, apa yang akan Kiai lakukan?” bertanya Gandar.
“Membawanya lari,” jawab Kiai Badra sambil tertawa.
Gandar pun tertawa juga. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. Menurut pendapatnya, orang-orang yang akan mempertanyakan tunggul itu akan puas mendengar jawaban Kiai Badra.
Ternyata karena perjalanan mereka yang melingkar-lingkar, mereka telah menempuh perjalanan yang semakin panjang. Mereka harus bermalam diperjalanan pada jarak yang masih cukup jauh.
Tetapi bermalam disembarang tempat bukan merupakan persoalan bagi Kiai Badra dan Gandar.
Namun demikian, di luar sadar kedua orang itu, ternyata ada juga orang yang menaruh perhatian terhadap tunggul yang dibawa oleh Kiai Badra itu. Justru bukan orang kebanyakan yang dengan terbuka telah bertanya tentang benda yang dibawa itu. Tetapi ternyata empat orang yang berpapasan dengan Kiai Badra dan Gandar menjelang sore hari, sangat memperhatikan tunggul yang berada dibawah selongsong putih itu.
“Kau lihat, apa yang dibawa oleh orang tua itu?” bertanya salah seorang di antara mereka.
“Mungkin sebangsa tombak,” jawab kawannya. “Apakah kau memperhatikannya?”
“Ya,” jawab yang lain. “Aku melihatnya. Selongsongnya tidak menutup seluruh landeannya. Aku melihat pangkal landean yang mencuat ke luar dari selongsongnya.”
“Menarik sekali,” jawab seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar dan berjambang lebat, “Jika demikian apakah perjalanan kita tunda?”
“Aku setuju,” desis kawannya. “Kita masih akan dapat merampoknya besok. Orang itu tidak akan tergesa-gesa berpindah rumah. Bahkan jika usaha kita mendapatkan tombak itu cepat selesai, kita masih mempunyai waktu.”
“Tidak. Kita akan merampasnya nanti jika malam turun. Kita tidak akan sempat lagi pergi ke sasaran kita semula. Biarlah besok saja kita mengambil isi rumah itu. Bukankah tidak ada batas waktu dan tidak ada perhitungan hari?” berkata yang lain.
“Tidak ada perhitungan hari. Tetapi kita harus memperhitungkan waktu bagi hari-hari tertentu. Malam ini kita mempunyai waktu menjelang saat tengah malam. Tetapi jika kita melakukannya besok, kita harus membuat perhitungan lagi. Mungkin kita baru boleh melakukannya setelah tengah malam, atau justru pada saat ayam berkokok untuk kedua kalinya,” sahut kawannya.
Ternyata keempat orang itu bersepakat untuk mengurungkan pekerjaan yang akan dilakukannya. Mereka lebih tertarik kepada tombak yang berada di dalam selongsong itu. Menilik ujud pangkal landeannya, tombak itu tentu merupakan benda yang sangat berharga. (Bersambung)-m

No comments: