Wednesday, 15 August 2007

Suramnya Bayang Bayang 461

Kiai Badra mengangguk-angguk. Dengan nada ragu ia berkata, “Apakah ada peronda di Kademangan ini. Anak-anak mudanya atau katakanlah pengawal Kademangan?”

Ada, meskipun tidak cukup baik. Tetapi dalam perselisihan ini aku tidak akan dapat mempergunakan mereka. Mungkin kawanku yang berhubungan dengan orang Jipang itu akan bertindak licik justru karena ia mengetahui kelemahan kedudukanku,” jawab orang bertubuh tinggi itu.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Menantu Ki Demang itu memang mempunyai kelemahan. Agaknya ia tidak ingin mempersoalkannya dengan kawan-kawannya itu dicampuri oleh terlalu banyak orang yang mungkin akan dapat membuka rahasianya.
Karena itu, maka menantu Ki Demang itu bertekad untuk menghadapi kawan-kawannya dengan kemampuannya sendiri.
Ketika kemudian mereka telah selesai dengan makan malam yang terlambat itu, mereka pun segera mengatur diri. Menantu Ki Demang itu mempersilakan Kiai Badra dan Gandar kembali ke gandok sementara itu, ia menempatkan kawannya dibilik kanan di dalam rumahnya.
Tetapi menantu Ki Demang itu dengan diam-diam telah pergi ke bagian belakang rumahnya. Di sebelah longkangan terdapat beberapa orang laki-laki. Seorang gamel, seorang pekatik dan dua orang anak muda yang menantunya bekerja di sawah.
Dengan hati-hati orang itu membangunkan mereka dan berpesan, “Jika terjadi sesuatu di rumah ini, kalian jangan tergesa-gesa membunyikan isyarat.”
“Apa yang akan terjadi?” bertanya orang-orang itu.
“Mungkin. Ada seseorang kawan yang memberitahukan bahwa ada orang-orang jahat yang akan merampok rumah ini. Tetapi biarlah kita menyelesaikan persoalan itu sendiri. Jangan memanggil para pengawal dengan isyarat,” berkata menantu Ki Demang itu.
Para pembantu di rumah itu pun mengangguk-angguk. Sementara itu menantu Ki Demang itu pun berkata lebih jauh, “Kalian pun jangan dengan serta merta melibatkan diri. Hati-hatilah, yang akan berbenturan jika itu terjadi adalah orang-orang berilmu. Jika kalian melihat kesempatan yang baik terserah. Tetapi jika kalian tidak mengerti apa yang kalian hadapi, maka kalian lebih baik menyingkir saja.”
Para pembantu menantu Ki Demang itu pun termangu-mangu. Seorang di antara mereka pun berkata, “Bukankah kami laki-laki juga, maka kenapa kami harus sekadar menyingkir?”
“Mereka adalah orang-orang berilmu. Karena itu, kau tidak akan dapat melawanmu hanya sekadar dengan keberanian dan kekuatan wadagmu saja,” berkata menantu Ki Demang.
Para pembantunya tidak menjawab lagi. Tetapi bagaimana pun juga mereka merasa ikut bertanggung jawab atas isi rumah itu, karena mereka bekerja dan tinggal di rumah itu pula.
Sejenak kemudian, maka menantu Ki Demang itu pun telah berada di dalam biliknya. Dipandanginya kedua anaknya yang sedang tidur lelap dibawah cahaya lampu minyak. Pada wajah anak-anak yang sedang tidur itu terbayang kebeningan budi yang seakan-akan belum ternoda sama sekali. Dengan mata yang terpejam, wajah itu memancarkan cahaya kedamaian dan ketenangan.
Menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam.
“Kau tidak tidur?” bertanya istrinya yang berbaring disebelah anakya yang masih menyusu.
“Sebentar lagi,” jawab suaminya yang kemudian duduk dibibir pembaringan, “Rasa-rasanya aku belum mengantuk.”
“Bukankah hari sudah jauh malam?” bertanya istrinya pula.
“Tidurlah,” berkata menantu Ki Demang itu. Lalu, “Aku masih memikirkan pembicaraanku dengan orang tua yang ingin menjual barangnya kepadaku.”
Istrinya tidak bertanya lebih jauh. Suaminya yang menurut pengertiannya adalah seorang pedagang yang berhasil itu, kadang-kadang memang berbuat sesuatu yang tidak diketahuinya. Dan ia tidak ingin bertanya terlalu jauh tentang pekerjaan suaminya itu, karena agaknya suaminya tidak begitu senang jika ia mempertanyakan sesuatu yang menyangkut pekerjaan suaminya itu. (Bersambung)-


SURAMNYA BAYANG BAYANG 462
Tanggal: Selasa, 30-09-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)

Sebenarnyalah bahwa menantu Ki Demang itu memang sedang dicengkam oleh kegelisahan. Ia menjadi cemas jika rahasianya tiba-tiba saja akan terbongkar. Sebelumnya ia tidak pernah mencemaskannya seperti pada saat itu. Ia mulai membayangkan, apa yang mungkin terjadi pada dirinya jika rahasia itu diketahui oleh Ki Demang. Bukan saja menyangkut nasibnya, namanya dan kedudukannya sebagai seorang menantu Demang. Tetapi bagaimana dengan anak-anaknya itu.

Justru karena itu, maka menantu Ki Demang itu sama sekali tidak merasa mengantuk karenanya.
Sementara itu, di gandok, Kiai Badra pun tidak dapat tidur barang sekejap pun. Dengan Gandar ia masih tetap duduk dan berbicara perlahan-lahan.
Bahkan menurut Gandar, malam itu mungkin sekali akan terjadi sesuatu dengan menantu Ki Demang itu.
“Sudah tentu bahwa kita tidak akan dapat tinggal diam,” berkata Gandar. “Apalagi jika orang-orang Jipang itu melibatkan diri.
“Apaboleh buat,” berkata Kiai Badra. “Sebenarnya kita harus menghindari setiap kemungkinan yang dapat menyeret kita ke dalam satu persoalan. Bukankah kita sedang membawa tunggul Pajang yang harus sampai ke padepokan kita dengan selamat sebelum tunggul itu pada saatnya akan memasuki Tanah Perdikan Sembojan?”
Gandar mengangguk-angguk. Tetapi jawabnya, “Kita sudah telanjur terlibat.”
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita memang harus bersiap-siap. Jika perlu maka tunggul itu akan aku pergunakan. Mungkin orang-orang Jipang itu datang dalam jumlah yang cukup besar. Kau pun akan dapat mempergunakan senjata yang memadai jika kau benar-benar harus bertempur dengan beberapa orang perwira Jipang.”
“Aku akan mempergunakan ikat pinggangku,” jawab Gandar.
“Kau tidak memerlukan senjata yang lain?” bertanya Kiai Badra.
“Kali ini mungkin tidak Kiai,” jawab Gandar.
“Ya. Apalagi jika kau memenangkan perkelahian yang mungkin terjadi. Tetapi jika kau mengalami kesulitan?” bertanya Kiai Badra.
“Tidak Kiai. Jika dengan ikat pinggang ini aku mengalami kesulitan, maka dengan apapun juga aku akan mengalami kesulitan pula,” jawab Gandar.
Kiai Badra mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa dengan ikat pinggang itu Gandar akan dapat menghadapi lawan-lawannya sebagaimana ia mempergunakan senjata apapun juga.
Untuk beberapa saat mereka masih saja berbincang. Sementara itu malam pun menjadi bertambah malam. Tengah malam telah dilampaui beberapa saat. Namun rasa-rasanya keduanya sama sekali tidak berniat untuk berbaring.
Di bilik yang lain, di dalam rumah menantu Ki Demang itu, kawannya yang bertubuh agak gemuk dengan kepala yang agak kecil dibandingkan dengan tubuhnya itu, ternyata masih juga belum dapat tidur. Ia menjadi gelisah dipembaringannya. Sekali ia memiringkan tubuhnya ke kiri, kemudian ke kanan, dan bahkan kadang-kadang ia tidur menelungkup.
“Tenanglah anak manis,” desisnya kepada diri sendiri. “Tidak akan terjadi apa-apa di rumah ini. Sejak kapan kau menjadi ketakutan mengalami peristiwa-peristiwa yang gawat seperti ini? Apapun yang terjadi, biarlah terjadi. Hadapi dengan sikap seorang laki-laki sejati.”
Orang itu pun kemudian memejamkan matanya. Namun ternyata bahwa ia pun tidak dapat segera tidur. Bahkan rasa-rasanya ia ingin mendengar setiap desis di luar dinding biliknya.
Dalam pada itu, malam pun semakin lama menjadi semakin dalam. Di kejauhan terdengar suara-suara malam yang kadang-kadang berderik bagaikan menggelitik jantung. Namun kadang-kadang terdengar semacam rintih memelas dan keluhan yang sendu.
Dalam sela-sela desir angin di dedaunan, Kiai Badra dan Gadar yang memiliki pendengaran yang sangat tajam ternyata mendengar suara yang lain. Bukan suara angin. Tetapi suara sentuhan kaki pada bongkah-bongkah tanah berbatu-batuan disebelah gandok itu. Dengan isyarat Kiai Badra minta agar Gandar berhati-hati. Sambil mengangguk Gandar pun kemudian berkisar untuk mempertajam pendengarannya. (Bersambung)-m





Suramnya Bayang Bayang 463
Tanggal: Rabu, 01-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)

Seseorang memang sedang bergeser mendekati tempat keduanya beristirahat di dalam bilik gandok itu.
Namun sementara itu, beberapa orang yang lain masih berada di luar halaman. Seorang di antara mereka berkata, “Jadi tunggul itu merupakan tunggul yang sangat berharga?”

“Ya. Bukan saja ujudnya, tetapi juga bahannya. Bahkan mengandung permata. Di samping itu tunggul itu tentu juga merupakan pertanda dari satu kuasa dari Pajang. Tetapi aku tidak tahu,” jawab orang yang diajaknya berbicara.
“Kita harus merampasnya,” berkata orang yang pertama. “Mungkin akan berguna bagi pasukan Jipang. Sementara itu, kau dapat membunuh menantu Ki Demang yang tentu akan berkhianat itu.”
“Aku memang sudah muak,” berkata yang diajak berbicara. “Kita akan menyelesaikan persoalan kita bersama-sama. Tetapi jika aku mengalami kesulitan menghadapi menantu Ki Demang itu, aku memerlukan bantuan.”
Orang yang pertama mengangguk-angguk. Namun ia pun tidak menjawab lagi.
Beberapa saat mereka menunggu. Ketika terdengar suara burung hantu lamat-lamat dari dalam halaman rumah itu, maka orang-orang di luar dinding halaman itu pun mulai bergerak.
Beberapa orang kemudian dengan sangat berhati-hati telah memasuki regol halaman yang memang tidak diselarak.
“Kita tidak akan mencuri tunggul itu,” berkata seorang yang berkumis tebal, “Tetapi aku akan mengambilnya dari tangannya.”
“Terserah,” jawab yang diajak berbicara, “Tetapi aku pun akan membunuh menantu Ki Demang itu dengan cara yang sama sebagaimana kau lakukan.”
“Tetapi kau memerlukan bantuan kami,” jawab orang berkumis itu.
“Ya. Dalam keadaan yang sulit,” jawab orang itu.
Dengan demikian maka orang berkumis itu pun berkata, “Jika demikian yang kita perlukan hanyalah keterangan tentang keadaan rumah ini. Bukan kemungkinan untuk mencurinya.”
Yang diajak bicara itu pun mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian, maka mereka melihat seseorang yang berjalan mendekati mereka. Orang itu adalah seorang di antara mereka yang mendapat tugas untuk mengamati keadaan di dalam rumah itu dan memberikan isyarat dengan suara seperti suara burung hantu.
“Bagaimana?” bertanya orang berkumis itu.
“Tidak ada yang mencurigakan. Agaknya isi rumah ini tidak menyadari bahwa kita akan datang malam ini,” jawab orang itu.
“Dengan demikian, bukankah tidak ada persiapan dan apalagi jebakan yang dapat menjerat kita?” bertanya orang berkumis itu.
“Tidak ada,” jawab orang yang mendahului masuk.
“Jika demikian, marilah kita memasuki pintu. Kita akan merampok rumah ini dan membunuh penguhuninya serta kedua orang yang membawa tunggul itu,” berkata orang yang berkumis tebal itu.
Sejenak kemudian beberapa orang itu pun telah naik ke pendapa. Mereka tidak lagi mengendap-endap seperti laku seorang pencuri. Tetapi mereka datang dan naik ke pendapa selaku prajurit yang memasuki medan perang.
Seorang di antara mereka pun kemudian pergi ke pintu pringgitan. Dengan hulu pedangnya orang itu mengetuk pintu sambil berteriak memanggil, “He, siapakah yang ada di rumah?”
Orang-orang di dalam rumah itu masih belum tidur. Karena itu suara ketukan pintu dan teriakan itu telah mengejutkan mereka. Bahkan anak perempuan Ki Demang yang tertidur disisi anaknya itu pun telah terkejut pula karenanya.
“Ada apa kakang?” perempuan itu bangkit dengan wajah yang tegang.
“Nyai, jaga anakmu baik-baik. Mungkin ada orang jahat yang ingin mengganggu kita,” jawab suaminya.
“Jadi?” istrinya menjadi semakin tegang.
“Jaga anakmu. Kau adalah anak perempuan seorang Demang. Berlakulah sebagai ayahmu yang berani dan tidak gentar menghadapi segala macam kesulitan. Jaga anakmu baik-baik. Aku akan melihat, siapakah orang yang berteriak-teriak itu.”
“Hati-hatilah kakang,” suara perempuan itu menjadi parau.(Bersambung)-m



Suramnya Bayang Bayang 464
Tanggal: Kamis, 02-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)

Menantu Ki Demang itu pun kemudian membenahi dirinya. Di beberapa bagian tubuhnya masih terasa sakit karena pangkal landean tunggul Kiai Badra. Tetapi setelah makan dan beristirahat sejenak, kekuatannya telah hampir menjadi pulih kembali.

Sejenak diamatinya ploncoan tempat ia menyimpan senjatanya. Dengan perhitungan yang mapan ternyata ia meraih tombak pendeknya. Jika ia harus menghadapi lawan lebih dari seorang, maka tombak pendek itu agaknya akan lebih menguntungkan daripada sebilah parang yang hanya pantas untuk perampok-perampok sebagaimana sering dilakukannya.
Sementara itu, orang berkumis tebal itu pun telah mengisyaratkan pula kepada kawannya untuk mengamati orang-orang yang berada di gandok.
“Jangan beri kesempatan mereka lari sambil membawa tunggul itu,” katanya.
Dua orang di antara mereka pun telah mengawasi pintu gandok yang masih tertutup. Orang yang mengendap-endap mendahului kawannya itu pun berdesis, “Mereka masih berada disana.”
Dalam pada itu, terdengar sekali lagi ketukan pintu. Lebih keras. dan suara memanggil pun menjadi lebih keras pula, “Buka pintu atau rumah ini akan aku bakar?”
Menantu Ki Demang itu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian kawannya yang bertubuh agak kegemukan dan berkepala kecil itu pun telah mendekati pintu pula.
“Kita akan membuka pintu itu,” berkata menantu Ki Demang.
Orang bertubuh gemuk itu tiba-tiba saja bertanya, “Kau masih mempunyai tombak pendek?”
“Apakah kau mampu mempergunakan tombak? Bukankah kebiasaanmu mempergunakan parangmu,” bertanya menantu Ki Demang.
“Ketika aku pertama kali berlatih olah kanuragan, maka senjata yang paling aku senangi adalah tombak pendek. Hanya setelah aku menjadi perampok aku mempergunakan parang yang besar itu,” jawab orang yang agak gemuk itu.
“Ambillah,” desis menantu Ki Demang.
Ketika orang itu sudah menggenggam tombak pendek, maka kedua orang itu pun telah mendekati pintu. Dengan suara yang tidak kalah lantangnya menantu Ki Demang itu bertanya, “Siapa kau he?”
Yang menjawab adalah kawannya yang berhubungan dengan orang-orang Jipang itu, “Aku. Buka pintu dan berlutut dihadapanku.”
Menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mendekati pintu sambil mempersiapkan diri. Sambil memberi isyarat kepada kawannya untuk bersiap sebaik-baiknya, maka ia pun membuka selarak pintu rumahnya perlahan-lahan.
Demikian pintu itu terbuka, maka ia pun segera meloncat surut. Namun ketika orang-orang diluar pintu itu akan memburunya masuk, maka mereka pun tertegun. Dua ujung tombak telah menghalangi mereka.
“Siapa yang akan mati paling cepat?” suara menantu Ki Demang itu sangat meyakinkan.
Yang kemudian berdiri di depan pintu adalah kawannya yang telah berhubungan dengan orang-orang Jipang itu. Dengan suara lantang ia berkata, “Pengecut. Berjongkoklah dihadapanku. Aku harus membunuhmu agar kau untuk selanjutnya tidak menghalangi lagi pekerjaanku.”
“Kau pengkhianat,” sahut menantu Ki Demang. “Siapapun aku, tetapi aku tetap berdiri dibawah kuasa Adipati Pajang, bukan Jipang.”
Tetapi orang berkumis tebal itulah yang kemudian tertawa. Katanya, “Aku adalah salah seorang perwira dari Jipang itu. Aku adalah saudaranya meskipun bukan saudara kandung. Ia telah menemukan satu keyakinan di dalam hidupnya. Dan itu adalah sangat berharga baginya.”
“Aku sama sekali tidak menghargainya,” berkata menantu Ki Demang. “Nah, sekarang masih ada waktu bagi kalian untuk pergi dari rumah ini. Atau aku harus mengusir kalian dengan kekerasan?”
Orang berkumis tebal itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Apakah yang kau andalkan, bahwa kau akan mengusir aku? Aku memang sudah mendengar dari suadaraku ini, bahwa kau adalah orang yang terkuat di antara keempat orang kelompokmu. Tetapi kau sekarang berhadapan dengan seorang perwira dari Jipang.” (Bersambung)-m


SURAMNYA BAYANG BAYANG 465 Tanggal: Jumat, 03-10-2003 Topik: SH Mintardja (Cerbung)




sURAMNYA bAYANG bAYANG 465
Tanggal: Jumat, 03-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)

Sementara itu kawannya yang berpihak kepada Jipang itu pun menyambung, “Jangan banyak bicara lagi. He, kau jangan penjilat. Aku sudah mengira bahwa kau akan berada disini Kepala Kecil.”

Kawannya yang berkepala kecil itu memandangi dengan tajamnya. Namun tiba-tiba saja ia tersenyum sambil menjawab, “Kau yang berkepala besar. Marilah, kita mencoba satu permainan yang barangkali menarik. Kau dan aku berperang tanding. Biarlah orang-orang lain menjadi saksi. Siapakah di antara kita yang lebih baik. Kau atau aku.”
“Persetan,” geram orang yang ditantangnya, “Berlutut kalian berdua. Kami sudah siap untuk memenggal leher kalian.”
“Jangan terlalu banyak bicara,” geram menantu Ki Demang. “Sekarang pergilah atau perutmu akan kukoyak dengan tombak ini.”
Orang yang berkumis tebal itulah yang kemudian berbicara, “Kau keluar atau kami yang masuk.”
Menantu Ki Demang itu pun termangu-mangu. Jika orang-orang di luar itu berhasil masuk, maka mungkin sekali mereka akan menemukan istrinya. Atau anaknya yang terkejut dan menangis. Mungkin mereka dapat mempergunakan istri dan anaknya untuk memaksanya menyerah. Sedangkan orang-orang yang seakan-akan menjadi gila itu tentu tidak akan dapat berbuat lain kecuali benar-benar membunuhnya, bahkan mungkin sekali dilakukan dihadapan istrinya.
Karena itu, maka menantu Ki Demang itu pun menjawab, “Kita akan bertempur ditempat yang luas. Aku akan keluar.”
Orang berkumis tebal itu tersenyum. Katanya, “Kau memang seorang yang berani Ki Sanak. Itulah agaknya kau adalah seorang perampok yang disegani. Marilah, kita akan melihat, apakah kemampuan seorang perampok mengimbangi kemampuan seorang perwira dari prajurit Jipang.”
Menantu Ki Demang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang-orang yang berada di luar pintu itu pun bergeser menjauh untuk memberi jalan kepada orang-orang yang berada di dalam rumah itu untuk keluar.
Menantu Ki Demang itu memang agak ragu untuk melangkah keluar pintu. Tetapi ketika ia melihat orang-orang yang berada di luar pintu itu bergeser menjauh, maka ia pun dengan sangat hati-hati melangkah ke pintu yang terbuka itu.
Pada saat yang demikian, tiba-tiba saja halaman rumah itu telah digetarkan oleh suara tertawa. Perlahan-lahan saja. Tetapi rasa-rasanya bagaikan mengguncang jantung.
Orang-orang yang berada di luar pintu pringgitan itu pun berpaling. Mereka melihat seseorang berdiri di pintu gandok diseberang halaman disebelah pendapa.
Perlahan-lahan orang itu menuruni tangga gandok yang tidak begitu tinggi. Kemudian berdiri tegak di halaman dengan tunggul di tangannya.
Dalam cahaya lampu minyak di pendapa, maka tunggul itu nampak bagaikan menyala. Gerigi cakra itu nampaknya bagaikan lidah api yang menggeliat menggapai-gapai.
Orang-orang yang melihat tunggul itu menjadi berdebar-debar. Beberapa orang prajurit Jipang yang berada di halaman itu pun menjadi termangu-mangu karenanya. (Bersambung)-m







Suramnya Bayang Bayang 466
Tanggal: Sabtu, 04-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)

Menantu Ki Demang, yang juga melihat tunggul itu pun merasa kecut. Di dalam hati ia berkata, “Untunglah bahwa lidah api itu tidak menyentuh kulit dagingku.”

Namun dalam pada itu, dalam ketegangan itu, menantu Ki Demang itu pun mendapat kesempatan untuk bergeser keluar diikuti oleh kawannya yang agak gemuk dan berkepala kecil itu. Keduanya menggenggam tombak pendek ditangannya.
Sedangkan yang harus mereka hadapi adalah kedua orang perampok yang telah memisahkan diri itu. Tiga orang perwira Jipang dan dua orang prajurit pengawal.
Menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam. Jumlah lawan mereka hampir lipat dua.
Namun demikian, tidak ada niat sama sekali untuk mengurungkan pertempuran dengan cara apapun juga meskipun seandainya nyawanya dapat diselamatkan karena itu. Ia benar-benar sudah bertekad untuk bertempur apapun yang akan terjadi. Demikian pula kawannya yang gemuk itu. Ia telah menyerahkan tenaga dan kemampuannya meskipun harus bertaruh nyawa.
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Badra bertanya, “Apakah sebenarnya yang telah terjadi disini?”
“Persetan,” geram salah seorang perwira Jipang, “Jangan berpura-pura tidak tahu. Serahkan tunggul itu, dan biarkan kami membunuhmu dari pada kau harus mati karena hukuman yang harus kau jalani.”
“Aku tidak mengerti yang kau maksud. Apakah benar kalian para perwira dari Jipang?” bertanya Kiai Badra.
“Kenapa hal itu kau tanyakan lagi?” geram perwira itu. “Bukankah di antara kami telah menyebut, bahwa kami adalah perwira dari Jipang.”
“Jadi untuk apa sebenarnya kalian ingin merampas tunggul ini? Tunggul ini tidak ada artinya sama sekali bagi kalian. Tetapi mempunyai nilai yang besar bagi kami,” jawab Kiai Badra.
“Kau jangan membakar jantungku dengan berpura-pura bodoh seperti itu,” jawab perwira Jipang itu. Bahkan orang berkumis tebal itu telah mendekatinya pula. Katanya, “Kau menjengkelkan sekali kakek tua. Berikan tunggul itu. Jangan banyak bicara.”
“Sayang Ki Sanak. Aku akan mempertahankannya,” jawab Kiai Badra.
“Bukankah kau tahu, siapa kami? Kami adalah para perwira Jipang. Pajang sekarang sudah terkepung. Apa yang akan kalian lakukan?” perwira yang berkumis tebal itu menjadi semakin marah.
“Kami adalah abdi-abdi dari Kadipaten Pajang. Seperti para abdi dari Jipang, maka kami adalah abdi-abdi yang setia. Karena itu, apapun yang akan terjadi atas diri kami, maka kami akan mempertahankan tunggul ini.”
“Uh,” geram perwira berkumis tebal itu, “Ternyata kau benar-benar orang yang pertama-tama harus dibunuh.”
Kiai Badra memandang perwira itu dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Kalian akan membuat kesalahan ganda Ki Sanak. Kehadiran kalian di daerah Pajang sudah merupakan satu kesalahan, karena kalian telah melanggar wewenang Kanjeng Adipati Pajang. Kedua, bahwa di Pajang kalian ternyata telah berusaha merampok kami.”
“Tutup mulutmu,” geram perwira itu. “Aku menyadari, menilik sikapmu menghadapi kami, serta menurut ceritera orang-orang yang telah gagal merampas tunggul itu, kau memang memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi kelebihan kemampuanmu itu adalah karena kalian melawan perampok-perampok kecil yang tidak memiliki pengetahuan olah kanuragan sama sekali. Tetapi apakah kau juga akan dapat menengadahkan dadamu jika kalian bertemu dengan para perwira dari Jipang.”
“Sebaiknya kita lihat,” jawab Kiai Badra. “Kita masih mempunyai banyak waktu.”
Perwira Jipang itu tidak ingin berbicara lebih banyak lagi. Dengan suara lantang ia berkata, “Urusi kelinci-kelinci itu. Aku akan menyelesaikan orang tua ini.”
Demikianlah orang-orang yang berada di halaman itu telah menempatkan dirinya masing-masing. Dua orang perwira Jipang dengan dua orang pengawal sudah siap menghadapi Kiai Badra dan Gandar. Namun yang terdengar adalah perintah orang berkumis tebal kepada kedua orang pengawalnya. (Bersambung)-m







Suramnya Bayang Bayang 467
Tanggal: Minggu, 05-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)

Kalian harus menjaga agar orang-orang itu tidak melarikan diri sambil membawa tunggul yang sangat kita perlukan itu. Karena itu, kalian tidak usah turut bertempur. Amati saja keadaannya. Kalian akan melihat bagaimana aku memenggal leher lawanku.”

Kedua pengawal itu pun telah memencar dan berdiri sebelah-menyebelah. Mereka harus menjaga agar kedua orang itu atau salah seorang daripadanya berusaha melarikan diri dan menyelamatkan tunggul yang menurut penilaian mereka sangat berharga itu.
Sementara itu, seorang perwira dan dua orang kawan menantu Ki Demang yang telah menyatakan memisahkan diri, bahkan akan membunuhnya itu, telah siap pula berhadapan dengan menantu Ki Demang serta kawannya yang agak gemuk.
Perwira Jipang itu menggeram, “Seperti sudah kami katakan, kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa. Aku ingin melihat kemampuanmu dibandingkan dengan seorang perwira dari Pajang.”
Menantu Ki Demang itu pun telah siap menghadapinya. Sementara kawannya yang gemuk harus menghadapi dua orang bekas kawannya sendiri.
Tetapi orang yang agak gemuk dengan kepala kecil itu pun sama sekali tidak gentar. Bahkan sambil tersenyum ia berkata, “Kita sekarang akan memperbandingkan kemampuan kita masing-masing. Jika ternyata kalian kalah, maka kalian harus membayar aku banyak sekali. Setiap perampokan yang terjadi, seharusnya pembagianku lebih banyak dari kalian, karena aku mempunyai kelebihan lebih banyak. Tetapi jika aku harus mati disini, maka tidak ada apa-apa yang patut dibanggakan, kecuali kelicikan kalian karena kalian bertempur tidak sebagai laki-laki sejati dalam perang tanding yang adil.”
“Persetan,” geram kawannya. “Kami memang tidak sedang berperang tanding. Tetapi kami memang datang untuk membunuhmu.”
Orang yang agak gemuk itu tidak menjawab. Tetapi ia sudah bergeser menjauhi menantu Ki Demang, agar mereka dapat leluasa bertempur menghadapi lawan masing-masing dengan senjata sebatang tombak pendek.
Sejenak kemudian, maka pertempuran itu pun telah mulai membakar halaman rumah menantu Ki Demang. Seperti yang diperintahkan oleh menantu Ki Demang, laki-laki yang ada di bagian belakang rumah itu tidak segera melibatkan diri dan tidak pula membunyikan tanda bahaya. Mereka tidak tahu alasannya, kenapa menantu Ki Demang tidak mengizinkan mereka untuk memukul ken-ongan. Mereka tidak tahu, bahwa menantu Ki Demang merasa cemas, seandainya kawan-kawannya itu tertangkap oleh para pengawal dan diserahkan kepada Ki Demang, karena mereka tentu akan berbicara tentang dirinya pula.
Karena itu, maka menantu Ki Demang itu merasa lebih baik dihadapinya sendiri. Tetapi ia tidak mengira sama sekali bahwa yang datang bersama kedua orang itu adalah tiga orang perwira dan dua orang prajurit pengawal dari Jipang.
Dalam pada itu, seorang di antara para perwira Jipang yang menghadapi menantu Ki Demang itu pun telah menyerangnya pula. Meskipun ia belum bersungguh-sungguh, tetapi nampak bahwa perwira itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi.
Tetapi menantu Ki Demang itu pun termasuk orang yang paling kuat di antara kawan-kawannya. Karena itu, maka bagaimana pun juga ia berusaha untuk dapat mengimbangi kemampuan perwira dari Jipang itu.
Namun memang tidak dapat dipungkiri, bahwa para perwira Jipang, apalagi yang dikirim ke Pajang, adalah perwira yang memiliki kemampuan terpilih. Karena itu, maka dalam benturan pertama, telah tampak bahwa perwira Jipang itu memiliki kelebihan.
Meskipun demikian, maka menantu Ki Demang itu tidak cepat menyerah kepada keadaan. Dengan tombak panjangnya ia berusaha untuk setidak-tidaknya bertahan untuk waktu yang lebih lama dari pada sepenginang.
Di depan gandok, maka para perwira Jipang itu pun telah melihat Kiai Badra dan Gandar. Kedua orang perwira itu ternyata tidak mau kehilangan kesempatan. Karena itu maka mereka pun berusaha untuk secepatnya menyelesaikan tugas mereka. Dengan pedang panjang keduanya telah melibat Kiai Badra dan Gandar ke dalam satu pertempuran yang keras dan cepat.
(Bersambung)-m




Suramnya Bayang Bayang 468
Tanggal: Senin, 06-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)

Tetapi para perwira Jipang itu belum mengenal Kiai Badra dan Gandar sebelumnya. Karena itu, maka ketika terjadi benturan-benturan, mereka pun segera menyadari, bahwa kedua orang itu memang memiliki ilmu yang tinggi.

Dalam pada itu, sebagaimana sebelumnya, Kiai Badra berusaha untuk tidak membuat tunggulnya cacat. Tunggul yang berbentuk cakar itu tidak dipergunakan pada tajam geriginya. Tetapi Kiai Badra masih berusaha untuk mempergunakan pangkal landeannya.
Sementara itu, Gandar yang bersenjata ikat pinggang itu pun telah mengambil satu keputusan yang menggetarkan jantungnya sendiri. Lawannya itu harus diselesaikan sehingga ia tidak akan dapat mengganggu menantu Ki Demang itu lagi dan sekaligus mengurangi kekuatan pasukan Jipang di Pajang yang bergabung dengan pasukan dari Tanah Perdikan Sembojan.
Perwira dari Jipang yang melawan Gandar itu memang terkejut melihat Gandar mempergunakan senjata yang asing baginya, namun dengan demikian, perwira itu menjadi semakin berhati-hati. Ia sadar, bahwa jika lawannya itu bukan seorang yang mumpuni maka ia tidak akan berani melawannya hanya dengan senjata ikat pinggangnya.
Sementara itu Kiai Badra pun telah terlibat dalam pertempuran yang cepat melawan perwira Jipang yang berkumis lebat itu. Ternyata perwira Jipang itu berusaha untuk segera mengalahkan lawannya. Namun ternyata lawannya adalah Kiai Badra.
Karena itu, maka betapapun perwira Jipang berkumis tebal itu berusaha, namun usahanya itu ternyata sia-sia saja. Ia tidak mampu berbuat banyak menghadapi orang tua yang membawa tunggul itu.
Demikian juga perwira Jipang yang bertempur melawan Gandar. Ternyata Gandar adalah orang yang luar biasa. Ikat pinggangnya yang mampu menebas seperti pedang, bukan sekadar sebuah ceritera. Tetapi benar-benar dibuktikannya sendiri dalam pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, dilingkaran pertempuran yang lain, menantu Ki Demang mengalami kesulitan menghadapi perwira Jipang yang bertempur dengan garang. Pada saat yang pendek, ia sudah mulai terdesak. Karena itu, menantu Ki Demang itu harus memeras tenaganya untuk bertahan. Namun dengan demikian, maka kemampuan dan daya tahannya akan cepat sampai ke batas.
Sementara itu, kawannya yang berbadan gemuk itu pun telah mengalami kesulitan. Meskipun ia yakin, bahwa ia memiliki kemampuan tidak lebih rendah dari kedua kawannya itu yang kemudian justru harus dilawannya, tetapi ketika mereka berdua menyatukan kemampuan mereka, orang yang gemuk itu mengalami kesulitan.
Kiai Badra agaknya melihat keadaan itu. Ia tidak dapat membiarkan menantu Ki Demang itu benar-benar diterkam kesulitan yang akan dapat membahayakan jiwanya. Karena itu, maka ia pun merasa wajib untuk menyelamatkannya.
Dengan demikian maka Kiai Badra harus mengakhiri perlawanan perwira Jipang itu mendahului batas daya tahan menantu Ki Demang, agar dengan demikian ia masih sempat memberikan pertolongan.
Karena itu, maka Kiai Badra pun telah meningkatkan ilmunya, sehingga perwira Jipang itu menjadi bingung. Pangkal landean Tunggul itu bagaikan berputaran disekitar tubuhnya, kemudian mematuk dengan dahsyatnya, menyentuh kulit dagingnya. Setiap sentuhan terasa bagaikan sentuhan bara api yang menyengat.
Perwira Jipang yang berkumis lebat itu menjadi gelisah. Namun betapapun ia mengerahkan kemampuannya, namun ternyata bahwa sulit baginya untuk mengatasi kecepatan gerak orang tua yang bersenjata tunggul itu.
Bahkan semakin lama sentuhan pangkal landean tunggul itu semakin sering mengenainya.
Perwira yang bertempur melawan Gandar pun segera mengalami kesulitan. Meskipun Gandar hanya bersenjata ikat pinggangnya, namun senjata itu ternyata mampu mengimbangi perwira Jipang yang melawannya. Bahkan semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa Gandar akan segera memenangkan pertempuran itu.
Dalam keadaan yang memaksa itu, maka perwira Jipang yang berkumis lebat itu tidak dapat berbuat lain daripada memberikan perintah kepada prajuritnya untuk memasuki arena, bertempur bersamanya menghadapi orang tua yang bersenjata tunggul yang hanya dipergunakan pangkal landeannya saja.
(Bersambung)-c




Suramnya Bayang Bayang 469
Tanggal: Selasa, 07-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)

Ikutlah menangkap orang ini,” berkata perwira itu, “Agaknya ia benar-benar akan melarikan diri.”
Kedua prajurit itu termangu-mangu. Namun mereka pun segera menyadari bahwa mereka harus turun ke gelanggang.
Sejenak kemudian, maka kedua orang prajurit itu pun telah melangkah mendekati pertempuran yang terjadi itu. Seorang mendekati lingkaran pertempuran Kiai Badra yang lain mendekati Gandar.

Dengan senjata teracu, maka keduanya pun kemudian langsung memasuki arena.
Namun yang terjadi memang sangat mengejutkan. Prajurit yang memasuki arena melawan Kiai Badra itu pun segera telah terlempar kembali keluar arena. Sekali ia menggeliat, kemudian prajurit itu pun pingsan. Di dahinya terdapat noda kebiru-biruan. Agaknya demikian ia berada di arena, maka ia pun menjadi lengah, sehingga pangkal landean tunggul Kiai Badra telah menyentuh dahinya, sedikit disebelah kening.
“Gila,” perwira berkumis lebat itu mengumpat. Ternyata bahwa prajurit itu sama sekali tidak berarti baginya.
Sementara itu, Gandar yang juga melihat keadaan menantu Ki Demang dan rekannya, ingin juga menyelesaikan pertempuran dengan cepat. Karena itu, maka ikat pinggangnya pun telah berubah seolah-olah sebilah pedang. Betapa ikat pinggang itu terayun-ayun mendebarkan. Suaranya berdesing menggelitik telinga.
Dengan kemampuan yang luar biasa, maka Gandar pun segera mendesak kedua orang lawannya. Bahkan sejenak kemudian, ketika ikat pinggang itu menyambar mendatar dan menyentuh lengan prajurit yang bertempur melawannya, ternyata telah mengoyakkan kulitnya sehingga luka pun telah menganga. Darah pun kemudian telah mengucur dari luka yang pedih itu.
“Gila,” geram perwira Jipang yang melihat lengan kawanya terluka. Namun ketika ia dengan marah meloncat menyerang, Gandar telah bergeser ke samping sambil mengayunkan ikat pinggangnya.
Ternyata ikat pinggang Gandar itu telah mematuk lambung perwira Jipang itu. Tetapi berbeda dengan kawannya yang koyak kulitnya, maka ikat pinggang Gandar itu telah menghantam lambung bagaikan selembar kepingan besi. Meskipun kulit perwira itu tidak terluka, tetapi rasa-rasanya bagian dalam lambungnyalah yang remuk karenanya.
Karena itu, maka perwira itu berusaha mengambil jarak. Dengan mengerahkan segenap daya tahannya, ia berusaha mengatasi perasaan sakitnya.
Sementara itu, prajurit yang terluka di lengannya itu agaknya masih mempunyai keberanian untuk menyerang Gandar. Dengan senjata berputar, prajurit itu berusaha untuk melukai lawannya.
Namun yang terjadi sangat menggetarkan hatinya. Ternyata dengan serangannya yang keras itu, pedangnya justru telah terlontar dan terlepas dari tangannya. Pedang itu agaknya telah membentur ikat pinggang Gandar yang dipergunakan untuk menangkis serangan itu.
Prajurit itu mengumpat. Sementara itu, perwira yang lambungnya bagaikan remuk dibagian dalam itu berhasil mengatasi rasa sakitnya. Ia pun berusaha untuk dapat membantu prajurit yang terluka dan kehilangan pedangnya itu. Maka perwira itu pun telah meloncat menyerang Gandar.
Gandar bergeser selangkah. Serangan perwira itu tidak mengenainya sama sekali. Namun dengan demikian, prajurit yang kehilangan pedangnya itu masih sempat memungutnya.
Dengan demikian, maka prajurit itu pun telah bersiap pula untuk bertempur. Namun darah ternyata terlalu banyak ke luar dari lukanya di lengan. Karena itu, maka kegelisahannya pun telah mengganggu tata geraknya dalam pertempuran selanjutnya.
Sejenak kemudian, maka berbareng keduanya menyerang Gandar. Dua ujung pedang bersama-sama mematuknya. Namun kedua orang lawannya itu telah terluka, sehingga mereka tidak mampu lagi untuk bergerak terlalu cepat.
Dengan demikian, maka Gandar tidak mengalami kesulitan untuk menghindari serangan perwira itu. Namun sekaligus sekali lagi ia menyambar pedang prajurit itu dengan ikat pinggangnya.(Bersambung)-m



Suramnya Bayang Bayang 470
Tanggal: Rabu, 08-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)

Sekali lagi pedang itu terlepas. Namun selagi prajurit itu merenunginya sekejab, tiba-tiba saja terasa dadanya telah dikenai ikat pinggang lawannya. Tetapi ikat pinggang itu tidak mengoyak kulitnya. Namun benar-benar sebagaimana sehelai kulit yang menghantam dadanya.

Meskipun demikian dadanya itu terasa panas sekali. Kulit dagingnya terasa bagaikan disentuh bara api. Karena itu, maka terdengar ia mengaduh perlahan. Kemudian terhuyung-huyung menepi menjauhi arena pertempuran. Apalagi ia sudah tidak bersenjata lagi.
“Pengecut,” geram perwira itu. “Kenapa kau lari dari medan?”
Prajurit itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi dadanya masih saja terasa panas sekali. Ketika ia sempat melihatnya, dibawah cahaya lampu diserambi gandok, ia melihat dadanya memang bagaikan terbakar melintang sebagaimana jalur sentuhan ikat pinggang lawannya.
Betapa sakitnya. Sehingga dengan demikian prajurit itu sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk berbuat sesuatu. Lukanya yang mengoyak lengannya dan luka bakar yang menyilang di dadanya itu, membuat sama sekali tidak berdaya lagi. Apalagi tanpa senjata ditangan.
Sementara itu, perwira yang bertempur melawan Gandar itu pun ternyata sudah tidak banyak lagi berbuat. Ia masih saja mengumpati kawannya yang kemudian jatuh terduduk bersandar dinding halaman. Namun sejenak kemudian, senjata lawannya yang aneh itu sekali lagi telah mengenainya pula. Pundaknyalah yang kemudian tersentuh ikat pinggang Gandar itu. Dengan demikian maka rasa-rasanya tangannya memang menjadi lumpuh, karena pundaknya bagaikan dikenai oleh sekeping besi baja.
Perwira itu mengumpat-umpat. Tetapi ia memang sudah tidak berdaya. Ketika ia berusaha memindahkan pedangnya dari tangan kanan ke tangan kirinya, maka serangan Gandar itu pun datang lagi. Ikat pinggang kulit itu telah mengenai punggungnya sebagaimana ikat pinggang kulit sewajarnya. Namun seperti prajurit yang kehilangan kesempatan untuk melawannya itu, maka punggungnya pun rasa-rasanya bagaikan terbakar.
Karena itu, maka perwira itu pun kemudian menggeliat dan bergeser surut. Tetapi Gandar telah memburunya pula. Ikat pinggang itu pun kemudian mematuk dadanya sebagaimana sebatang linggis, sehingga perwira itu terdorong surut dan jatuh terlentang.
Tulang-tulang iganya rasa-rasanya telah berpatahan. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka dari mulutnya telah meleleh darah yang hangat.
Ternyata perwira itu tidak berdaya lagi. Bahkan ia pun kemudian jatuh terlentang. Kesakitan yang sangat telah mencengkamnya.
Gandar menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ia melihat Kiai Badra yang tidak mau mempergunakan tunggul sepenuhnya dan selalu menghindari kemungkinan landean tunggul itu menjadi cacat oleh benturan, telah dapat melumpuhkan lawannya pula. Dengan pangkal landean tunggulnya Kiai Badra berhasil mengetuk dada perwira Jipang yang berkumis lebat itu sehingga perwira itu terlempar dari arena. Namun demikian ia berusaha bangkit, maka diluar dugaannya, pangkal landean itu tepat berada di atas dahinya, sehingga karena itu, maka kepalanyalah yang telah terantuk pada pangkal landean yang sengaja dipasang oleh Kiai Badra didepan dahinya itu. (Bersambung)-m

No comments: