Malam itu, para pemimpin di Pajang masih sempat beristirahat sejenak. Namun demikian fajar mulai menyingsing, maka para Senopati itu pun telah mempersiapkan pasukannya masing-masing.
Dengan susunan perang, pasukan segelar sepapan itu pun telah keluar dari regol kota menuju ke sarang lawan dan memasang gelar menghadapi pasukan Jipang. Namun pasukan Pajang masih memelihara jarak sehingga saat itu keduanya masih belum turun memasuki pertempuran.
Para pengamat dari Jipang yang melihat pasukan segelar sepapan telah berada di luar pintu gerbang, maka mereka pun segera menyusun diri. Tetapi menilik jarak yang masih terlalu jauh, maka orang-orang Jipang itu pun menganggap bahwa Pajang masih belum akan bergerak langsung hari itu juga.
Dalam pada itu, maka para pemimpin Jipang pun telah mengadakan pembicaraan. Menurut laporan para petugas pengawasan, pasukan Pajang bukannya pasukan yang sangat kuat.
“Kita akan mampu menghancurkan dan menghalau sisa-sisa pasukan itu,” berkata Ki Rangga Gupita yang berada di antara pasukan Jipang. “Meskipun yang nampak itu agaknya jauh lebih kuat dan bersungguh-sungguh dibandingkan dengan pasukan-pasukan Pajang yang telah menampakkan diri dihadapan mereka sebelumnya dan menghilang kembali, masuk ke dalam gerbang kota.”
Dengan demikian maka pasukan Jipang pun telah bersiap. Sebagian dari pasukannya telah berada di luar padukuhan yang dipergunakannya sebagai pasanggrahan. Mereka telah memasang kerangka gelar yang akan mereka pergunakan apabila pasukan Pajang itu benar-benar menyerang. Namun sementara itu, sebagian yang lain masih saja berada di dalam padukuhan.
“Jangan menghambur-hamburkan tenaga tanpa arti,” berkata para pemimpin Jipang. “Nampaknya orang-orang Pajang yang putus asa itu ingin memancing agar kita menjadi tegang dan kehilangan keseimbangan. Biarlah orang-orang Pajang itu menghamburkan tenaga mereka sendiri. Tetapi kita cukup berpengalaman dan tidak terpancing untuk berbuat sesuatu yang tidak ada gunanya. Namun, meskipun demikian kita harus tetap berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan. Kita tidak boleh lengah.”
Dengan demikian maka sebagian dari pasukan Jipang termasuk orang-orang Tanah Perdikan Sembojan itu masih sempat beristirahat sepenuhnya, meskipun setiap saat bunyi isyarat mereka harus bersiap memasuki gelar yang sudah dipasang kerangkanya.
Sebagaimana diperkirakan oleh orang-orang Jipang, maka Pajang tidak bergerak pada hari itu. Pasukan Pajang tetap berada ditempat mereka memasang gelar dihadapan pasukan Jipang yang berada disebuah padukuhan. Padukuhan yang menjadi kosong karena penduduknya telah mengungsi ke luar padukuhan itu.
Panglima pasukan Pajang telah mendengarkan setiap laporan tentang gerak pasukan Jipang itu setiap saat. Namun menurut laporan para pengamat, pasukan Jipang tidak menarik pasukannya ke luar dari padukuhan dan siap menghadapi pasukan Pajang sepenuhnya. Tetapi mereka hanya sekadar memasang kerangka gelar.
“Luar biasa,” berkata Panglima pasukan Pajang, “Mereka benar-benar prajurit pilihan. Mereka tetap tenang dalam keadaan seperti ini.”
Ki Tumenggung Wirajaya mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi bukankah kita akan mengetrapkan rencana kita dalam keseluruhan termasuk gerak pasukan?”
“Tentu,” jawab Panglimanya. “Mudah-mudahan kita berhasil mengatasi pasukan Jipang itu dengan cara kita.”
(Bersambung)-m
Tanggal: Minggu, 02-11-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)
Tetapi bagaimanapun juga kekuatan yang besar dari Pajang dibanding dengan kekuatan Jipang, apalagi sergapan yang tiba-tiba itu telah membuat pasukan Jipang menjadi kacau.
Dengan kemampuan para pemimpinnya, Jipang berusaha untuk menyusun diri dalam gelar perang yang memadai. Gelar yang paling mungkin dicapai untuk menghadapi gelar Sapit Urang yang datang dengan garangnya.
Para prajurit Jipang juga berusaha untuk menghadapi pasukan Pajang dengan tebaran pasukan, karena mereka tidak mau terperangkap ke dalam kepungan. Karena itu, maka pasukan Jipang telah menyusun gelar Wulan Panunggal dengan meletakkan kekuatannya pada ujung gelarnya, sementara bagian tengah dari pasukan Jipang memang ditarik mundur beberapa lapis. Namun kemudian mereka berusaha untuk bertahan pada garis tertentu, sementara kedua ujung pasukannya dengan tajam menyerang dan menusuk gelar lawan.
Tetapi kekuatan gelar lawannya juga ada di ujung pasukan. Apalagi pasukan Pajang sempat merencanakan dan menyusun gelarnya dengan tertib sehingga perhitungannya lebih mapan dari pasukan Jipang yang harus bergerak dengan tiba-tiba.
Pertempuran semakin lama menjadi semakin seru. Tetapi hentakan pertama pasukan Pajang ternyata mempunyai pengaruh yang besar. Perlahan-lahan pasukan Jipang memang terdesak, sehingga mereka telah menarik garis surut.
Tetapi pasukan Pajang mendesaknya dengan tanpa ampun. Bagi mereka pertempuran itu akan ikut menentukan kedudukan Pajang selanjutnya.
Ternyata bahwa serangan yang tiba-tiba itu memang sulit untuk diatasi oleh pasukan Jipang. Betapapun mereka dengan sikap seorang prajurit sejati bertempur tanpa mengenal gentar, namun para pemimpin Jipang juga mempunyai perhitungan yang dilandasi dengan nalar.
Jika mereka memaksakan diri bertempur terus, maka korban akan semakin banyak jatuh, sementara itu mereka tidak akan berhasil mempertahankan diri. Karena itu, maka Senapati tertinggi yang memimpin pasukan Jipang itu, setelah mengadakan pembicaraan pendek dengan para pembantunya, telah memutuskan untuk memerintahkan pasukannya mundur.
Sejenak kemudian, maka isyarat itu pun telah didengar oleh seluruh pasukan Jipang. Karena itu, selagi mereka masih mempunyai kekuatan, maka mereka pun telah bergerak mundur melintasi bulak-bulak dan pategalan.
Dengan kemampuan seorang prajurit, maka pasukan Jipang yang mundur itu masih tetap kelihatan utuh. Sehingga dengan demikian, maka pada saat-saat tertentu pasukan itu masih juga mampu memukul lawannya. Bahkan beberapa orang sempat membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Namun demikian satu dua orang di antara mereka yang terbunuh, terpaksa harus mereka tinggalkan.
Pasukan Pajang berusaha untuk mendesak mereka dan memburu pasukan yang mundur itu. Tetapi pasukan Jipang mampu mempergunakan pategalan dan padukuhan-padukuhan untuk menemukan perisai bagi pasukannya yang sedang mundur itu.
Akhirnya, para pemimpin Pajang memerintahkan pasukannya untuk menghentikan pengejaran. Nampaknya para pemimpin pasukan Pajang tidak lagi melihat manfaatnya untuk mengejar pasukan Jipang itu terus-menerus. Apalagi langit menjadi buram dan senja pun akan segera turun.
Panglima pasukan Pajang yang sehari sebelumnya sempat mengatur gelar disisi Timur ternyata telah memimpin langsung pasukan Pajang yang menyerang kedudukan pasukan Jipang itu. Dengan demikian maka pasukan Pajang telah menduduki padukuhan yang untuk beberapa lama telah dipergunakan sebagai pesanggrahan dari pasukan Jipang disisi Barat. Tetapi mereka tidak akan tetap berada di padukuhan itu.
Sementara itu, maka pasukan Pajang pun telah ditarik kembali. Malam itu juga panglima pasukan Pajang itu telah memerintahkan pasukannya untuk kembali ke garis gelar pasukannya disisi Timur. (Bersambung)-m
Tanggal: Senin, 03-11-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)
“Gila,” geram Ki Rangga Gupita, “Kita jangan kehilangan waktu. Kita harus menyerang kedudukan pasukan Pajang di sisi Timur.”
“Kapan?” bertanya seorang perwira.
Ki Rangga Gupita termangu-mangu sejenak. Matahari telah mulai turun ketika laporan itu sampai kepadanya. Jika ia mempersiapkan serangan, maka waktunya tinggal sedikit sebelum malam tiba. Karena itu, maka katanya, “Besok pagi-pagi menjelang fajar kita bersiap. Mudah-mudahan pasukan Pajang masih belum siap. Sebagian dari mereka ternyata berada di sisi Barat. Yang nampak oleh kita adalah sekadar bayangan kekuatan pasukan Pajang. Karena itu, maka besok pagi-pagi benar kita harus mendahului kehadiran pasukan Pajang yang lebih besar lagi. Mereka agaknya masih menikmati kemenangan mereka di sisi Barat.”
Rangga Gupita bergerak dengan cepat. Senapati pasukan Jipang yang ada di sisi Timur itu pun telah menyiapkan pasukannya. Mereka sudah berada di dalam gelar malam itu, sehingga jika langit menjadi terang esok pagi, pasukan itu langsung dapat bergerak.
Hampir semalam suntuk para pemimpin pasu- kan Jipang tidak tertidur. Namun mereka masih juga memperhitungkan keadaan wadag mereka, sehingga beberapa orang berusaha untuk beristirahat meskipun hanya sekejap.
Ketika fajar menyingsing, maka pasukan pun telah bersiap. Mereka telah mendapat ransum mereka, karena ada kemungkinan bahwa mereka akan bertempur sehari penuh, sehingga dengan demikian maka mereka harus makan lebih dahulu sekenyang-kenyangnya.
Untuk beberapa saat prajurit-prajurit Jipang dan para pengawal Tanah Perdikan itu sempat beristirahat. Mereka berjalan hilir mudik untuk memanaskan tubuhnya, serta mendorong makanan yang baru saja mereka makan turun ke dalam perut.
Rangga Gupita ternyata tidak menunggu sampai matahari terbit. Ketika semuanya sudah siap, maka ia pun telah berhubungan dengan Panglima pasukan Jipang dan memberikan beberapa pendapat dan pesan.
“Sekarang sudah saatnya,” desis Rangga Gupita.
Senapati Jipang yang memimpin pasukan di sisi Timur itu pun segera memberikan isyarat kepada para pemimpin kelompok sehingga sejak kemudian segalanya telah siap sepenuhnya.
Karena itu, maka Senapati pasukan Jipang itu pun telah memerintahkan pasukannya untuk menyerang kedudukan pasukan Pajang di luar pintu gerbang.
Sejenak kemudian, maka pasukan Jipang yang diperkuat oleh para pengawal Tanah Perdikan Sembojan yang sudah terlatih telah menyerang pasukan Pajang bagaikan banjir bandang. Dengan sorak yang getap gempita dan bagaikan memecahkan langit, diiringi oleh isyarat suara bende yang mendengung memenuhi udara, maka pasukan Jipang itu menghantam pasukan Pajang digaris gelarnya.
Dalam pada itu, pasukan Pajang ternyata sudah lengkap sebagaimana dilihat oleh pasukan Jipang pada hari pertama. Mereka yang berada di sisi Barat telah kembali di dalam gelar yang padat itu.
Hal itulah yang diperhitungkan oleh Rangga Gupita. Mereka yang memimpin pasukan Jipang itu menduga bahwa sebagian pasukan Pajang tentu ditarik di sisi Barat dan untuk sementara masih menikmati kemenangan mereka. Karena itu, maka Rangga Gupita dan para pemimpin pasukan Jipang mengambil keputusan untuk dengan tergesa-gesa menyerang pasukan Pajang itu.
Tetapi hal itu sudah diperhitungkan oleh para pemimpin prajurit di Pajang. Sebagaimana mereka menarik sebagian prajurit Pajang dari gelarnya di sisi Timur masuk kembali ke dalam regol dan kemudian justru menyerang ke Barat, maka para prajurit itu pun dengan diam-diam di malam hari telah merayap kembali ke dalam gelar di sisi Timur. Meskipun mereka merasa letih dan bahkan beberapa di antara mereka telah dilukai dengan goresan-goresan kecil, namun mereka sudah siap untuk bertempur. (Bersambung)-m
Tanggal: Selasa, 04-11-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)
Demikianlah, ketika pasukan Pajang itu menyaksikan pasukan Jipang berlari-larian menyerang mereka dalam gelar yang utuh, maka mereka pun telah bangkit pula. Mereka tidak mau didorong dalam benturan pertama tanpa memberikan hambatan.
Karena itu, maka di antara para prajurit yang ada di dalam gelar itu pun telah siap menyambut lawan mereka. Sekelompok prajurit yang terpencar pada bagian-bagin gelar telah berloncatan ke depan sambil menarik busur mereka. Beberapa orang yang lain justru bergeser surut mengambil ancang-ancang.
Sejenak kemudian, maka anak panah pun telah berebut terbang di udara. Suaranya yang berdesing nyaring telah menggelitik jantung. Bahkan ternyata orang-orang Pajang telah membuat hujan anak panah itu semakin menggetarkan jantung karena ada beberapa di antara anak panah yang dilontarkan itu adalah anak panah sendaren.
Tetapi para prajurit Jipang pun cukup terampil. Dengan serta merta maka prajurit-prajurit yang membawa perisai segera mengambil tempat dipaling depan. Mereka berusaha melindungi kawan-kawannya dengan perisai mereka. Mereka berusaha untuk memukul dan mengibaskan anak panah yang beterbangan di atas kepala mereka.
Namun sejenak kemudian, maka yang menyusul beterbangan di udara adalah beberapa puluh lembing. Prajurit-prajurit Pajang yang mengambil ancang-ancang telah melontarkan lembing-lembing yang berada di tangan mereka.
Dalam pada itu, bagaimana pun juga para prajurit Jipang berusaha untuk berlindung di balik perisai-perisai namun satu dua ada juga anak panah dan lembing yang lolos dan mematuk sasaran. Satu dua orang prajurit Jipang dan anak-anak muda Tanah Perdikan itu pun ada juga yang roboh jatuh di tanah. Karena dorongan kekuatan sendiri, maka orang-orang yang sedang berlari itu pun sulit untuk berhenti atau menghindar, sehingga orang-orang yang terjatuh itu justru telah terinjak kaki-kaki kawan-kawannya.
Namun demikian pasukan Jipang dan anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan yang jumlahnya cukup besar itu telah bergeser maju dengan cepat, sehingga kesempatan untuk mempergunakan lembing dan anak panah pun segera terputus. Pasukan lawan itu menjadi begitu dekat.
Dengan demikian, maka para prajurit Pajang itu pun telah meletakkan busur mereka. Mereka pun berganti menggenggam pedang dan tombak. Dengan senjata merunduk maka mereka pun telah menyambut kedatangan lawan.
Demikianlah, maka kedua gelar itu pun bertemu. Pertempuran pun segera membakar arena. Pasukan Jipang yang telah lebih dahulu berteriak-teriak itu pun membentur pasukan Pajang dengan garangnya.
Namun pasukan Pajang benar-benar sudah siap menerima kehadiran lawannya. Dengan tangkasnya mereka menghindari serangan. Namun tiba-tiba merekalah yang mengayunkan pedang mendatar menebas tubuh lawannya.
Tetapi orang-orang Jipang pun telah bersiap sepenuhnya, sehingga karena itu, maka mereka pun dengan cepat bergeser surut dan bahkan serangan merekalah yang datang mendesak.
Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah saling menyerang dan saling mendesak. Kedua belah pihak adalah prajurit-prajuti pilihan. Bahkan anak-anak Tanah Perdikan Sembojan pun adalah anak-anak yang memiliki bekal kemampuan yang cukup. Mereka telah ditempa oleh para perwira dari Jipang, sehingga dengan demikian maka mereka tidak canggung lagi untuk turun ke arena.
Namun ternyata bagi anak-anak muda Tanah Perdikan Sembojan, para prajurit Pajang terlalu garang bagi mereka. Agak berbeda dengan latihan-latihan yang mereka alami dengan para perwira dari Jipang. Dalam pertempuran yang sebenarnya, di dalam benturan gelar yang padat, maka ujung senjata menyambar-nyambar tanpa dikekang sama sekali. Sehingga dengan demikian, karena kurangnya pengalaman betapapun tingginya latihan-latihan yang telah mereka lakukan, namun pertempuran yang sengit itu telah membuat jantung mereka menjadi berdebar-debar. (Bersambung)-m
No comments:
Post a Comment