Wednesday, 15 August 2007

481

Ternyata Kiai Badra dan Gandar benar-benar seorang pejalan yang berpengalaman. Meskipun jalan yang mereka tempuh belum pernah mereka kenal sebelumnya, namun akhirnya mereka menemukan arah yang benar, sehingga mereka pun memasuki jalan yang terbiasa mereka lalui menjelang tengah malam.

“Kita menempuh jalan yang benar,” desis Kiai Badra.
Ya. Bukit kecil itu dapat menjadi ancar-ancar. Bukankah bukit yang nampak remang-remang di malam yang tidak begitu gelap ini adalah Gunung Kendit sedangkan disebelahnya, yang runcing itu adalah Gunung Prapat?”
Kiai Badra tersenyum sambil memandang langit yang jernih dan sepotong bulan yang tergantung dilangit. Kemudian kedua bukit yang menjadi ancar-ancar perjalanan mereka, sehingga mereka tidak tersesat terlalu jauh dari tujuan.
Ternyata perjalanan mereka selanjutnya sama sekali tidak terganggu. Dengan selamat mereka mencapai padepokan Tlaga Kembang. Namun agaknya kedatangan mereka di lewat tengah malam telah mengejutkan seisi padepokan.
“Apa yang kakang bawa?” bertanya Nyai Soka ketika ia melihat tunggul dalam selongsongnya.
“Nanti, aku akan berceritera,” jawab Kiai Badra.
Nyai Soka termangu-mangu. Namun ia mengenali bentuk dari benda yang dibawanya itu sebagai sebuah tunggul. Karena itu, maka ia pun bertanya, “Apakah kakang membawa sebuah tunggul?”
“Ya,” jawab Kiai Badra. “Aku memang membawa sebuah tunggul.”
“Darimana kakang mendapatkannya?” desak Nyai Soka.
“Jangan takut aku mencuri di jalan,” jawab Kiai Badra sambil tersenyum. “Tetapi sudah aku katakan, aku akan menceriterakannya nanti, setelah aku mandi. Panasnya udara dan keringatku yang membasahi pakaianku di perjalanan, rasa-rasanya sangat mengganggu kesegaranku disisa malam ini.”
Nyai Soka pun kemudian membiarkan Kiai Badra dan Gandar mandi. Sementara itu, hampir seisi padepokan telah terbangun dan duduk disebuah amben besar di ruang dalam sambil mengamati tunggul yang masih di dalam selongsongnya, yang ditaruh di dalam ploncotan oleh Kiai Badra.
Sementara itu, Nyai Soka telah membangunkan seorang cantrik untuk merebus air, karena agaknya Kiai Badra dan Gandar yang merasa haus.
Baru sejenak kemudian, mereka duduk melingkar diamben yang besar di ruang dalam itu sambil menghirup minuman panas dengan gula kelapa.
“Nah, ceriterakan,” minta Nyai Soka.
“Kau tidak sabar menunggu matahari terbit,” desis Kiai Badra. “Sebenarnya aku masih sempat tidur barang sekejap.”
“Kakang, minum sambil berbicara,” berkata Nyai Soka. “Nanti masih ada waktu sekejap untuk memejamkan mata.”
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tunggul itu adalah pertanda bahwa kita mengemban perintah Adipati Pajang.”
“Perintah apa?” bertanya Nyai Soka.
“Perintah untuk mengambil kembali Tanah Perdikan Sembojan dari tangan orang-orang yang tidak berhak dan melepaskan dari pengaruh Jipang,” berkata Kiai Badra.
Orang-orang yang mendengar keterangannya itu termangu-mangu. Namun Kiai Badra pun kemudian menceriterakan apa yang telah terjadi dalam perjalanannya ke Pajang untuk menemui para pemimpin Kadipaten itu, meskipun Kanjeng Adipati sendiri berada di satu tempat yang berhadapan dengan pasukan Jipang, seberang menyeberangi Bengawan Sore.
Mereka yang mendengarkan ceritera Kiai Badra itu menjadi tegang. Dengan sungguh-sungguh mereka mengikuti setiap persoalan yang dikemukakan oleh Kiai Badra, sehingga akhirnya Kiai Badra itu berkata,
“Sebenarnyalah, bahwa yang mendapat perintah untuk melaksanakan semuanya itu adalah Iswari. Bukan aku, bukan Gandar dan bukan Kiai atau Nyai Soka.”
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Badra meneruskan, “Sedangkan Iswari pun bertindak atas nama anaknya. Apalagi pertanda kekuasaan Tanah Perdikan pun ada pada kita, sehingga anak itu memang mempunyai hak atas jabatan Pemimpin Tanah Perdikan Sembojan.”
(Bersambung)-m


482

Namun dalam pada itu, Iswari menjawab, "Tetapi bukan kedudukan itulah yang kita pentingkan kakek."
"Anakmu kelak harus memandang bahwa jabatan itu penting baginya. Jika ia menjadi Kepala Tanah Perdikan, maka ia memang harus mempunyai minat untuk memegangnya, sehingga dengan demikian maka ia akan mempunyai gairah perjuangan, meskipun dengan demikian harus ada batasan-batasan lain yang akan membedakannya dengan orang-orang tamak yang cenderung memenuhi keinginan dan selera pribadi tanpa menghiraukan isi Tanah Perdikan itu sendiri," berkata Kiai Badra.

Iswari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak membantah keterangan kakeknya.
Sementara itu, Kiai Badra pun berkata, "Nah mulai hari ini kita akan mengemban tugas yang penting dan berat. Kita memerlukan waktu, pikiran dan dukungan. Bahkan kita memerlukan apa saja yang akan dapat menjadi pendorong perjuangan ini. Sementara itu, kita harus juga memperhitungkan kekuatan Jipang yang sudah mencengkam Tanah Perdikan ini, karena sewaktu-waktu pasukan Jipang akan dapat ditarik dari perbatasan dan diperbantukan untuk mengatasi kemelut yang mungkin terjadi di Tanah Perdikan yang sudah menyatakan diri menjadi bagian dari Jipang ini. Kau sadari itu Iswari?"
Iswari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ya kakek. Tetapi bukankah kita tidak tergesa-gesa dan Pajang tidak memberikan batasan waktu?"
"Ya. Kita memang tidak mendapat batasan waktu. Tetapi pertengkaran antara Pajang dan Jipang itu berjalan terus. Jika kita dapat mengganggu pemusatan pasukan Tanah Perdikan Sembojan yang berpihak kepada Jipang itu, maka berarti kita sudah meringankan beban Pajang. Dan sebaliknya jika Pajang bergerak, maka kita mendapat kesempatan untuk berbuat untuk banyak di Tanah Perdikan ini karena pasukan Jipang dan Tanah Perdikan Sembojan itu terikat dalam benturan kekuatan dengan Pajang," berkata Kiai Badra. Bahkan ia pun telah menceriterakan pula apa yang terjadi antara dirinya dan Gandar dengan para perwira dari Jipang.
"Baiklah," berkata Nyai Soka kemudian, "Kita harus memikirkannya masak-masak. Kita memerlukan waktu dan pengamatan yang luas. Baru kita menentukan sikap."
"Tetapi waktu yang kita perlukan itu jangan terlalu panjang bahwa tanpa batas," sahut Kiai Badra.
Nyai Soka tersenyum. Katanya, "Selama ini kakang tidak pernah nampak sangat tergesa-gesa untuk menangani satu persoalan seperti saat ini. Tetapi baiklah, semula akulah yang tergesa-gesa, sementara kakang akan beristirahat. Tetapi ketika kakang mulai berbicara dengan perasaan, maka rasa-rasanya sekarang juga kita harus berbuat sesuatu."
Kiai Badra mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum. Katanya, "Baiklah. Aku ingin beristirahat sebelum minum beberapa teguk air panas. Meskipun sesaat lagi fajar akan menyingsing, namun agaknya aku masih mempunyai waktu."
Demikianlah, maka Kiai Badra dan Gandar telah pergi ke biliknya. Namun dalam pada itu, Nyai Soka dan Kiai Soka masih duduk ditempatnya bersama dengan Iswari.
Nampaknya mereka masih melanjutkan pembicaraan tentang perintah Pajang yang di tandai dengan tunggul yang dibawa oleh Kiai Badra itu dengan sungguh-sungguh. Bagi Iswari, maka ia harus mempertaruhkan segala-galanya bagi kepentingan Pajang dan kepentingan anak laki-lakinya, meskipun ayah anaknya itu telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar kepadanya.
"Langkah yang segera dapat kita ambil adalah mempersiapkan diri. Kita harus menampa diri kita masing-masing lahir dan batin untuk menghadapi kekuatan yang mungkin akan mengejutkan kita, karena selain Tanah Perdikan Sembojan sudah berada dibawah pengaruh dan mungkin juga perlindungan dari Jipang, maka disekitar pemangku jabatan Kepala Tanah Perdikan Sembojan adalah orang-orang dari lingkungan keluarga Kalamerta," berkata Kiai Soka.
Iswari mengangguk-angguk. Ia menyadari. Tetapi tekadnya memang sudah bulat, apapun yang akan terjadi dengan dirinya, maka ia harus mengusir perempuan yang telah merusak bukan saja keluarganya, tetapi Tanah Perdikan Sembojan itu sendiri."(Bersambung)-a

483 ????


Suramnya Bayang Bayang 484
Tanggal: Rabu, 22-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)

“Jangan terlalu bodoh kakang,” jawab istrinya. “Bukankah aku mengerti, bahwa masih ada anak-anak muda yang cukup banyak, sehingga apabila diambil separo daripadanya, maka Tanah Perdikan ini masih tetap kuat.”

“Tetapi bukankah kita sudah mengirim cukup banyak anak-anak muda untuk membantu Jipang? Dan bukankah kekuatan Jipang yang berada di sebelah-menyebelah Pajang itu cukup kuat untuk menekan Pajang, karena sebagian besar prajurit Pajang justru ditarik ke luar untuk berhadapan dengan pasukan Jipang di Demak?” bertanya Ki Wiradana.
“Kau jangan terlalu banyak mempersoalkan hal itu,” berkata istrinya. “Jangan membuat aku marah, karena aku masih ingin menghormatimu sebagai seorang suami.”
Setiap kali Ki Wiradana menghadapi ancaman yang demikian, maka ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Ia harus melakukan perintah istrinya untuk mengumpulkan sebagian dari anak-anak muda yang tersisa untuk mendapat latihan-latihan yang berat. Para pengawal khusus yang sudah ditempa oleh para perwira dari Jipang dan Nyai Wiradana sendiri akan memberikan latihan-latihan kepada mereka.
Rencana itu telah sampai pula ketelinga Kiai Badra. Tetapi Kiai Badra sama sekali tidak mencemaskannya, karena kekuatan itu ditujukan untuk menghadapi Pajang.
“Jika rencana itu dilaksanakan, maka Tanah Perdikan itu akan menjadi semakin lemah,” berkata Kiai Badra.
Tetapi Sambi Wulung bertanya, “Tetapi bagaimana keadaan Tanah Perdikan setelah perang itu selesai. Jika para pengawal yang mendapat tuntunan dan pengaruh para perwira dari Jipang itu kembali, apakah tidak akan timbul persoalan di antara mereka dengan rencana kita?”
“Sudah tentu,” jawab Kiai Badra. “Tetapi kita harus memikirkannya, apa yang sebaiknya kita lakukan. Untuk itu kita masih mempunyai waktu.”
Sambi Wulung mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan segera memasuki Tanah Perdikan di malam hari.”
“Tetapi ternyata bahwa kita harus menunggu untuk melihat perkembangan penyusunan kekuatan yang akan dilakukan di Tanah Perdikan,” berkata Kiai Badra.
Namun ternyata Kiai Badra tidak memerlukan waktu yang lama. Mereka dapat menyaksikan perkembangan yang tumbuh di Tanah Perdikan Sembojan lewat Sambi Wulung dan Jati Wulung. Latihan-latihan yang lesu betapapun dipaksakan oleh para pemimpin dan para pengawal yang pernah mendapat latihan-latihan yang berat dari para perwira di Jipang.
“Tanah Perdikan ini sudah kehilangan urat nadi kekuatannya,”berkata Wiradana. “Sekarang Tanah ini masih akan diperas sampai kering.”
“Lakukan perintah ini atau kau akan menyesal,” ancam istrinya.
Ki Wiradana tidak dapat berbuat sesuatu. Ia harus melakukan sebagaimana dikatakan oleh istrinya. Apalagi di dalam rumahnya kemudian selalu terdapat ayah Warsi yang sebenarnya dan tukang gendang yang merupakan tangan kanan dari ayah Warsi yang mengaku sebagai pedagang emas berlian itu.
Betapa penyesalan mencengkam jantung Ki Wiradana, ia pun mulai menduga-duga tentang kematian ayahnya.
“Tentu ada hubungannya dengan rencana yang nampaknya telah disusun sangat rapi oleh Warsi,” berkata Wiradana kepada diri sendiri.
Tetapi semuanya sudah terlanjur. Dari Warsi ia mempunyai seorang anak yang akan dengan cepat merenggut kedudukannya. Menilik sikap Warsi dan orang-orang yang berada disekitarnya, maka pada suatu saat ia tentu akan disingkirkan tanpa menunggunya sampai tua. Anaknya yang dilahirkan oleh Warsi itulah yang akan segera menggantikannya. Dewasa atau belum dewasa. Bahkan angan-angan Ki Wiradana itu sampai pada puncak kekecewaannya melihat sikap Warsi terhadap Ki Rangga Gupita yang untungnya baru berada di hadapan Pajang bersama Ki Randukeling.
Dalam pada itu, ternyata Pajang dan Jipang telah terlibat semakin dalam memasuki persoalan yang menyangkut tahta Demak yang ditinggalkan. Kematian demi kematian telah terjadi. Menurut berita yang didengar oleh para pemimpin di Pajang, Arya Penangsang berusaha untuk membunuh orang-orang yang dapat mengganggu keinginannya untuk merebut tahta, seorang demi seorang. Tidak dalam perang.(Bersambung)-m


485

Dengan demikian, maka Kanjeng Adipati Hadiwijaya dari Pajang pun menjadi semakin berhati-hati. Disiapkannya perisai lahir dan batin, agar ia tidak terbunuh sebagaimana beberapa orang putera dan menantu Sultan Trenggana yang telah wafat itu.

Di Pasanggrahan Adipati Hadiwijaya, penjagaan telah diperkuat. Para prajurit selalu berada disekitar bilik tidur Adipati Hadiwijaya sendiri. Sementara Kanjeng Adipati Hadiwijaya pun selalu mengeterapkan ilmunya meskipun ia berada di dalam bilik yang dijaga ketat oleh para prajuritnya.
Sementara itu, di Pajang sendiri, para prajurit yang tinggal telah bersiap dalam kesiagaan tertinggi. Pasukan Jipang memang telah berada dihadapan hidung mereka. Bahkan diperkuat dengan para pengawal dari Tanah Perdikan Sembojan.
Namun Pajang pun tidak sekadar mempercayakan pertahanannya kepada para prajurit. Karena itu, maka Pajang pun telah memanggil beberapa orang pengawal dari daerah-daerah disekitar kota yang dianggap memiliki kemampuan dasar dalam olah kanuragan untuk ikut mempertahankan kota apabila pasukan Jipang benar-benar menyerang.
Sementara itu, maka di padepokan Tlaga Kembang telah terjadi satu persiapan yang matang. Sekelompok pengiring dan penari telah siap untuk pergi ke Sembojan. Bukan hanya seorang penari, tetapi yang akan ikut bersama kelompok itu adalah dua orang penari. Seorang penari yang telah dikenal oleh orang-orang Sembojan dan seorang penari yang lain adalah seorang perempuan yang lebih tua dari penari yang seorang dan tidak mempunyai ujud yang pantas sebagai seorang penari. Tetapi yang seorang ini akan lebih banyak memancing tertawa para penontonnya kelak.
“Nah, rombongan kita sekarang menjadi lebih besar, mulai berdendang semua laki-laki Tanah Perdikan Sembojan akan terbius dan di esok harinya, mereka akan berduyun-duyun mencari pesinden yang bersuara emas itu.”
Yang menyahut adalah Kiai Badra, “Tetapi jika mereka menemukannya, maka mereka akan menjadi pingsan karenanya.”
Nyai Soka tertawa berkepanjangan. Bahkan Iswari pun tersenyum pula sebagaimana perempuan yang disebut Serigala Betina itu.
Demikianlah, dengan persiapan yang matang bukan saja untuk mengiringi seorang penari, tetapi juga untuk bertempur apabila perlu, maka rombongan penari jalanan itu telah berangkat menuju Sembojan.
Kehadiran rombongan penari yang sudah agak lama hilang itu, memang mengejutkan. Ketika rombongan itu memasuki sebuah padukuhan, maka mereka pun segera kebar di simpang tiga, di pinggir padukuhan.
Ternyata rombongan penari itu masih menarik perhatian. Orang-orang padukuhan itu segera berkumpul mengitari rombongan penari itu. Yang mereka saksikan kemudian bukan hanya seorang penari sebagaimana terdahulu, tetapi dua orang. Yang seorang memang lebih banyak berputaran dan mengundang tawa. Ujudnya yang agak kegemukan dan terhitung seorang perempuan yang gagah menurut ukuran perempuan kebanyakan, dengan gerak dan rias yang menyolok, memang membuatnya menjadi lucu. Perempuan itu tidak terlalu baik untuk menari, tetapi cukup memberikan kesegaran pada pertunjukan itu. (Bersambung)-m

486

Tetapi satu hal yang menarik perhatian, bukan oleh para penonton, tetapi justru oleh setiap orang dalam rombongan itu, bahwa di antara para penontonnya, anak-anak mudanya terlalu jauh susut dari yang pernah mereka lihat sebelumnya.

“Sebagian dari mereka telah dikirim ke Pajang,” berkata orang-orang Tlaga Kembang itu di dalam hatinya.
Namun ketika rombongan penari itu kemudian beristirahat, dan di antara para pengiringnya sempat berbincang dengan orang-orang padukuhan itu, maka mereka mengetahui bahwa selain yang dikirim ke Pajang, maka sebagian lagi di antara mereka telah ditarik masuk ke dalam barak-barak untuk mendapatkan latihan keprajuritan, sehingga yang tinggal adalah anak-anak muda yang lemah, yang terlalu tua untuk latihan-latihan yang berat dan yang masih terlalu muda.
“Apakah masih ada yang mendapat tempaan di barak-barak?” bertanya Kiai Soka.
“Ya. Mereka dipersiapkan untuk mempertahankan Tanah Perdikan ini jika diperlukan,” jawab seseorang.
Tetapi orang lain menyambung, “Bukan hanya untuk itu. Tetapi aku kira mereka mungkin akan dikirim ke Pajang juga menyusul saudara-saudaranya yang telah terlebih dahulu diumpankan.”
Kiai Soka mengangguk-angguk, sementara Kiai Badra tidak berani berterus terang menampakkan wajahnya kepada orang-orang Sembojan sebagaimana juga Gandar, karena sebagian di antara orang-orang Sembojan itu telah mengenal mereka.
Sementara itu, Kiai Soka pun bertanya, “Ki Sanak, apakah peraturan yang dahulu masih berlaku?”
“Peraturan yang mana?” bertanya orang Sembojan itu.
“Bahwa para pengawal bahkan setiap orang harus menangkap kami apabila kami berada di Tanah Perdikan ini,” jawab Kiai Soka.
Orang Sembojan itu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabannya, “Peraturan itu memang belum dicabut. Agaknya memang demikian. Tetapi bagi kami, apakah salah kalian?”
Kiai Soka mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Terima kasih atas sikap ini.”
Namun dalam pada itu orang Sembojan itu pun bertanya, “Tetapi Ki Sanak. Apakah kalian masih tidak bersedia menjawab teka-teki tentang penari itu?”
Kiai Soka termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Teka-teki tentang apa?”
“Ujudnya yang mirip sekali dengan Nyai Wiradana. Bahkan kami menganggap bahwa orang itu adalah Nyai Wiradana,” jawab orang Sembojan itu.
Kiai Soka tertawa. Namun katanya, “Kami akan kebar lagi dilain tempat. Kecuali jika ada yang minta rombongan itu menari disini.”
Orang Sembojan itu menjawab kecewa. Tetapi ia pun kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Tanah Perdikan ini sekarang memang sedang bergejolak. Semua orang yang memiliki kelebihan berusaha membuat kami menjadi gila.”
“Apa maksudmu?” bertanya Kiai Soka.
“Kalian dapat melihat apa yang terjadi disini. Dan di antara yang membuat kami gila ada perempuan yang mirip sekali dengan Nyai Wiradana, justru pada saat kami memerlukannya,” berkata orang Sembojan itu. “Sebagian orang-orang Sembojan memastikan, bahkan ada yang mengaku sudah mendapat penjelasan yang sebenarnya, bahwa perempuan itu memang Nyai Wiradana yang meninggalkan rumahnya karena kecewa melihat sikap Ki Wiradana yang telah berhubungan dengan penari iblis itu.”
Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Namun sekali lagi ia berkata, “Terima kasih Ki Sanak. Kami akan meneruskan perjalanan kami menyusuri jalan-jalan Tanah Perdikan ini untuk mencari makan.”
Orang-orang Tanah Perdikan Sembojan itu tidak dapat mencegah mereka. Selain mereka memang tidak ingin minta juga sebenarnyalah orang-orang Sembojan itu masih dibayangi oleh ingatan mereka terhadap peraturan, bahwa jika rombongan itu menari di rumah seorang di antara mereka, melihat rombongan penari itu, mereka harus menangkap atau melapor kepada para pengawal.
(Bersambung)-m

487

Tetapi menurut pendapat orang-orang padukuhan itu, pengawal padukuhan yang sudah menjadi semakin lemah itu pun sebenarnya mengetahui kehadiran rombongan itu. Namun mereka masih belum mengambil tindakan apapun juga.

Sementara itu di gardu dimulut lorong padukuhan dua orang pengawal sedang berbincang tentang rombongan itu pula.

”Aku pernah mendengar meskipun aku tidak tahu kebenarannya, bahwa rombongan penari itu bukan saja mampu memukul gamelan dan mengiringi tarian perempuan yang mirip sekali dengan Nyai Wiradana itu. Tetapi mereka juga mampu bertempur,” berkata seorang di antara mereka.

”Itu wajar. Setiap rombongan pertunjukan jalanan, tentu mempunyai satu dua orang yang dapat mereka andalkan, karena ada kemungkinan mereka mengalami gangguan di jalan,” jawab kawannya.

”Jadi bagaimana dengan kita?” bertanya yang pertama.

Kawannya tidak segera menjawab. Sementara orang yang pertama mendesak, ”Apakah kita akan menangkap mereka? Jika kau ingin kita berbuat demikian, aku pun akan melakukannya. Lepas dari pertimbangan berhasil atau tidak berhasil.”

Kawannya termangu-mangu. Namun kemudian katanya, ”Kita tidak melihat langsung. Biar sajalah. Anggap saja kita tidak tahu bahwa ada serombongan penari jalanan di padukuhan ini.”

”Kita mendengar gamelannya. Kita melihat orang-orang pergi menonton dan kita mendengar orang-orang berbicara tentang penari yang mirip dengan Nyai Wiradana itu,” berkata anak muda yang pertama.

”Aku tidak melihat mereka lewat dan aku tidak mendengar mereka berceritera tentang rombongan penari itu,” jawab kawannya.

”Persetan,” geram orang yang pertama. ”Kau ingkar. Katakan saja bahwa kau dan juga aku tidak berani bertindak atas mereka. Itu lebih jujur.”

Kawannya tidak menjawab. Tetapi ia semakin membenamkan dirinya dibalik selimut kain panjangnya. Sambil memeluk lutut ia duduk bersandar dinding gardu di mulut lorong.

Dalam pada itu, maka iring-iringan penari jalanan itu pun telah menelusuri jalan di bulak-bulak menuju padukuhan berikutnya. Mereka sama sekali tidak ingin menghindari para pengawal di gardu-gardu atau mereka yang sedang meronda nganglang Tanah Perdikan.

Namun dalam pada itu, ketika rombongan itu mendekati sebatang pohon asam yang besar di pinggir jalan, Kiai Soka yang berada di paling depan telah memberikan isyarat. Kiai Soka telah melihat dua orang yang berjongkok di pinggir jalan dibawah pohon asam itu. Dalam kegelapan malam, yang nampak oleh ketajaman pandangan Kiai Soka tidak lebih dari dua sosok bayangan yang kehitam-hitaman.

”Berhati-hatilah,” berkata Kiai Soka. ”Tentu bukan para pengawal Tanah Perdikan ini. Jangan terlibat persoalan dengan lain yang akan dapat mempersulit kedudukan kita.”

Tidak ada yang menjawab. Tetapi iring-iringan kecil itu berjalan terus dengan lampu minyak yang tergantung di pikulan gamelan yang sederhana.

Kiai Soka yang berada di paling depan memberi isyarat rombongan itu berhenti ketika dilihatnya dua orang itu bangkit berdiri dan bergeser selangkah ke depan.

”Selamat malam Ki Sanak,” terdengar salah seorang dari kedua orang itu berdesis.

”Selamat malam,” jawab Kiai Soka.

”Sebuah rombongan penari yang sangat besar menurut ukuran yang wajar,” berkata orang itu.

Kiai Soka mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam ia bertanya, ”Apakah Ki Sanak akan minta rombongan kami untuk menari?”

Kedua orang itu berpandangan sejenak. Namun salah seorang di antara mereka berkata, ”Ya Ki Sanak. Kami ingin minta rombongan ini menari.”

”O, bagus,” jawab Kiai Soka. ”Dipadukuhan yang mana?”

”Bukan hanya di padukuhan, tetapi diseluruh Tanah Perdikan,” jawab orang itu.

Kiai Soka mengerutkan keningnya. Namun ia pun segera tanggap. Orang itu tentu mempunyai maksud tertentu terhadap rombongan penarinya. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin berhati-hati. (Bersambung)-m.


488
Dengan nada datar Kiai Soka pun kemudian bertanya, “Ki Sanak. Jawaban Ki Sanak telah menumbuhkan persoalan di dalam diriku. Aku minta maaf, bahwa sebagai orang tua aku tidak segera mengetahui maksud Ki Sanak yang sebenarnya meskipun aku tahu, bahwa yang Ki Sanak katakan merupakan ungkapan yang harus dicari maknanya.”

Orang itu tertawa. Jawabnya, “Ketika rombongan ini kebar di padukuhan sebelah, aku ikut menyaksikan. Satu pertunjukan yang sangat menarik. Seorang penari yang memang menguasai kemampuan menari, seorang yang memberikan kesegaran pada pertunjukan karena sikap dan ujudnya, dan seorang pesinden dengan suara yang ngelangut meskipun sudah mulai bergetar karena umurnya.”

“Dan Ki Sanak tertarik kepada pertunjukan itu?” bertanya Kiai Soka.

“Ya. Menurut seorang penonton penarinya mirip sekali dengan Nyai Wiradana,” berkata orang itu.

Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Sanak tentu bukan orang Tanah Perdikan ini. Nah, siapakah Ki Sanak sebenarnya dan apakah maksud Ki Sanak?”

“Kami orang Sembojan,” jawab orang itu.

“Orang Sembojan tentu mengenal Nyai Wiradana. Bukan sekadar menurut kata orang. Jika kalian orang Sembojan kalian tentu mengetahui menurut penglihatan Ki Sanak sendiri, apakah penariku itu mirip atau tidak dengan Nyai Wiradana,” berkata Kiai Soka.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. “Baiklah. Kami memang bukan orang Sembojan. Tetapi menurut kami, penari itu sama sekali tidak mirip dengan Nyai Wiradana.”

“Mungkin Ki Sanak benar,” jawab Kiai Soka.

“Yang mirip dengan Nyai Wiradana adalah orang lain, yang memiliki persamaan. Tetapi orang itu adalah Nyai Wiradana sendiri,” jawab orang itu.

Kiai Soka menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Apakah Ki Sanak mendapat tugas dari para pemimpin Jipang untuk melakukan satu tindakan tertentu terhadap kami? Mungkin atas permintaan Wiradana atau istrinya yang sebenarnya adalah keluarga Kalamerta yang terkenal itu? Atau Ki Sanak sendiri memang keluarga Kalamerta yang ingin menegakkan kewibawaan Wiradana dan istrinya yang juga seorang penari jalanan?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Kalian terlalu berprasangka buruk. Kami bukan orang Jipang dan bukan pula keluarga Kalamerta.”

“Sebut. Siapakah kalian?” desis Kiai Soka.

“Sudah kami katakan, bahwa kami adalah orang-orang yang ingin minta kalian menari. Tidak hanya sekadar dipadukuhan-padukuhan. Tetapi diseluruh Tanah Perdikan ini,” jawab orang itu. Lalu, “Bukan saja seorang penari. Tetapi kalian semuanya dan bahkan apabila mungkin mengajak orang-orang Tanah Perdikan ini untuk ikut menari.”

Kiai Soka termangu-mangu sejenak. Namun yang tidak dapat menahan diri adalah Sambi Wulung, “Apakah maksudmu sebenarnya? Jangan mencoba untuk mempermainkan kami.”

Namun Kiai Badra telah menggamitnya. Ialah yang kemudian berdiri disebelah Kiai Soka sambil berkata, “Ki Sanak. Bukan soal yang sulit untuk berbicara tanpa diketahui ujung pangkalnya oleh lawannya berbicara. Aku dapat mengucapkan kata-kata yang barangkali tidak kau mengerti maksudnya. Tetapi bukankah lebih baik bagi kita apabila kita berbicara dengan terus-terang, jelas dan dapat dimengerti maksudnya, apapun yang kemudian harus terjadi.”

Orang yang semula berada di bayangan pohon asam itu pun bergerak maju. Malam memang tidak terlalu gelap. Udara terang, bintang bergayutan tetapi bulan tidak ada di langit.

Meskipun demikian, Kiai Badra mampu melihat garis-garis wajah yang mendekatinya itu. Bahkan tiba-tiba saja ia berdesis, “Ki Tumenggung sendiri yang telah datang ke Tanah Perdikan ini?”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Aku memerlukan untuk pergi melihat Tanah Perdikan ini dan berusaha untuk dapat berhubungan dengan serombongan penari jalanan yang berkeliling di Tanah Perdikan ini. Sudah tiga hari tiga malam aku di sini. Hampir saja aku memutuskan untuk kembali ke Pajang karena tidak ada jalan bagiku untuk dapat bertemu dengan Kiai Badra.”

489
Suramnya Bayang Bayang 489
Tanggal: Senin, 27-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)

“Maaf Ki Tumenggung. Kami tidak tahu dengan siapa kami berhadapan,” desis Kiai Badra, yang kemudian katanya kepada Kiai Soka, “Ini adalah Tumenggung Wirajaya. Seorang pemimpin di Pajang yang bertanggung jawab tentang Tanah Perdikan yang ada di lingkungan kekuasaan Kadipaten Pajang.”

“O,” Kiai Soka mengangguk hormat, “Kami mohon maaf Ki Tumenggung, kami tidak mengerti bahwa kami berhadapan dengan Ki Tumenggung Wirajaya.”
“Tidak apa Kiai,” jawab Ki Tumenggung. “Aku memang ingin untuk tidak dikenal. Sementara itu, aku merasa beruntung bahwa aku dapat bertemu dengan Kiai dan Kiai Badra di sini.”
Kiai Badra pun kemudian telah memperkenalkan orang yang sebenarnya adalah Ki Tumenggung Wirayuda sendiri beserta pengawalnya yang telah memerlukan datang melihat Tanah Perdikan Sembojan dari dekat.
Bahkan Ki Tumenggung itu pun kemudian berkata, “Aku tidak sekadar ingin melihat Tanah Perdikan ini setelah kehilangan tulang-tulangnya sehingga seakan-akan sudah tidak mempunyai kekuatan lagi karena anak-anak mudanya yang terbaik telah diumpankan di hadapan pasukan pajang. Tetapi aku memang ingin berbicara dengan Iswari yang dianggap sudah hilang dari Tanah Perdikan ini, karena menurut Kiai Badra, Iswarilah yang akan memegang tunggul pertanda kuasa Kadipaten Pajang yang dilimpahkan kepada pemimpin sejati dari Tanah Perdikan ini.”
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Iswari. Kemarilah Ki Tumenggung Wirajaya akan berbicara denganmu.”
Dengan ragu-ragu Iswari pun melangkah maju mendekat. Sementara Ki Tumenggung bertanya, “Apakah aku dapat berbicara sekarang? Maksudku dihadapan orang-orang ini semuanya?”
“Silakan Ki Tumenggung,” jawab Kiai Badra. “Semua orang di dalam rombongan ini adalah orang-orang yang terpercaya. Karena itu, apakah kita harus mencari tempat yang baik untuk dapat duduk sambil berbicara?”
“Tidak perlu,” jawab Ki Tumenggung. “Aku tidak akan berbicara panjang. Aku tidak ingin mengganggu serombongan penari yang sedang mencari makan.”
Kiai Badra tersenyum, sementara Ki Tumenggung sambil tersenyum pula meneruskan, “Karena itu, aku ingin berbicara singkat dan langsung.”
“Silakan Tumenggung,” sahut Kiai Badra yang kemudian berkata kepada cucunya, “Dengarkan baik-baik.”
“Iswari,” berkata Ki Tumenggung, “Meskipun aku belum pernah melihat sebelumnya, tetapi demikian aku melihat seorang penari di arena, aku langsung dapat menebak, yang manakah yang bernama Iswari. Tentu bukan yang bertubuh sedikit kegemukan dan tinggi besar seperti seorang laki-laki dengan rias yang menggelikan itu.”
Iswari hanya tersenyum sambil menundukkan kepalanya, “Nah, dengarlah,” berkata Ki Tumenggung. “Sebagaimana kalian ketahui, Tanah Perdikan ini sudah menjadi sangat lemah. Namun demikian, aku masih akan berusaha untuk membuat Tanah Perdikan ini semakin kecut melihat perkembangan suasana di Pajang. Kami sudah mempersiapkan sepasukan prajurit khusus untuk mengangguk pasukan Jipang yang diperkuat oleh anak-anak muda Tanah Perdikan ini. Mudah-mudahan kami tidak harus mengorbankan jiwa terlalu banyak, lebih-lebih anak-anak muda Tanah Perdikan ini. Sementara itu, kalian dapat mengamati keadaan. Mungkin Tanah Perdikan ini akan mengirimkan bantuan bagi pasukannya yang berada di bawah pengaruh Jipang. Namun pada saat yang demikian, kalian akan dapat banyak berbuat bagi Tanah Perdikan ini.
“Apa yang harus kami lakukan di sini,” bertanya Iswari.
“Kita akan dapat bekerja bersama. Agar anak-anak muda dari Tanah Perdikan ini tidak menjadi umpan yang tidak berarti di Pajang. Jika kami bergerak dan kalian bergerak, maka aku kira anak-anak muda tidak akan dilemparkan ke dalam api pertempuran di Pajang, karena Tanah Perdikan ini sendiri memerlukan mereka. Tanah Perdikan ini harus mengatasi kerusuhan yang ditimbulkan oleh sekelompok orang yang mengadakan pertunjukan keliling di Tanah Perdikan ini.” (Bersambung)-k

Suramnya Bayang Bayang 490
Tanggal: Selasa, 28-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)

“Kami mengerti Ki Tumenggung,” jawab Iswari. “Tetapi sejak kapan pasukan Pajang akan bergerak?”
“Secepatnya. Besok aku sudah berada kembali di Pajang. Sementara itu segala sesuatunya sudah direncanakan dengan masak, sehingga setiap saat pasukan Pajang akan dapat bergerak. Sementara itu kami selalu mengadakan hubungan dengan prajurit Pajang yang berhadapan langsung dengan induk pasukan Jipang yang dipimpin sendiri oleh Adipati Jipang, Arya Penangsang,” jawab Ki Tumenggung.

“Baiklah,” jawab Iswari. “Jika demikian, maka kami pun masih belum mulai hari ini. Kami akan mulai beberapa hari lagi, setelah pasukan Pajang bergerak, dan kami mendapat kabar, bahwa Tanah Perdikan ini menyiapkan orang-orangnya untuk dikirim.”
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Ternyata kau mampu membuat perhitungan-perhitungan tentang peperangan yang aku pasti belum pernah kau lakukan sebelumnya.”
“Ah,” Iswari menundukkan kepalanya.
“Sudahlah. Segala sesuatunya akan berjalan seperti yang aku katakan. Jika terjadi perubahan, maka kami akan memberitahukan kepada kalian. Tetapi dimana aku atau orang-orangku dapat menemui kalian?” bertanya Ki Tumenggung.
“Di padepokan kecil di luar Tanah Perdikan ini,” jawab Iswari.
“Atau kita akan menentukan tempat yang lebih baik,” Kiai Badra memotong. “Tempat yang tidak terlalu jauh dari Tanah Perdikan ini, sehingga setiap gerakan akan dapat langsung dimengerti.”
“Kita akan membuat barak yang tersembunyi? Di hutan itu misalnya?” bertanya Iswari.
“Ya. Kita akan membuat semacam tempat persiapan-persiapan. Sudah tentu harus tersembunyi,” jawab Kiai Badra.
“Dimanapun jadilah,” jawab Ki Tumenggung.
Mereka pun kemudian sepakat untuk mengadakan tempat pertemuan di lereng bukit yang disebut Gunung Prapat. Bukit yang kecil dan terletak disebuah hutan yang tidak begitu lebat. Namun cukup sunyi karena jarang sekali disentuh oleh kaki seseorang.
Dengan kemampuan angan-angan mereka, maka mereka pun telah menentukan tempat itu, sehingga kedua belah pihak tidak akan menjadi kebingungan.
Dua atau tiga orang di antara kami akan selalu berada ditempat itu bergantian,” berkata Kiai Badra.
Ki Tumenggung Wirajaya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah kita sudah menemukan beberapa kesepakatan. Yang penting kita akan dapat selalu bertemu, karena kita sudah menetapkan tempat untuk pertemuan itu. Pembicaraan berikutnya akan dapat dilakukan kemudian.”
“Ya Ki Tumenggung. Jika ada perintah, maka perintah itu dapat dilangsungkan ke tempat yang sudah kita sepakati atau utusan Ki Tumenggung dapat menunggu sebentar tidak lebih dari sehari semalam,” berkata Kiai Badra.
“Ya. Aku mengerti. Mungkin yang sedang mendapat giliran ditempat itu sedang mengejar seekor rusa atau bahkan ikut dalam rombongan seperti ini,” berkata Ki Tumenggung. “Karena itu, jika kami tidak menjumpai kalian di hutan itu, maka kami akan dapat menunggu kalian disepanjang jalan di Tanah Perdikan ini. Karena kalian sedang mencari nafkah.” (Bersambung)-m

(Bersambung)-m.

No comments: