Karena itu, ketika perhatian perwira itu kembali kepadanya menantu Ki Demang itu sudah mendapatkan jalan untuk menghindar kesamping sambil menjulurkan tombaknya.
“Setan,” geram perwira itu. “Kau akan lari kemana?”
Menantu Ki Demang sampai kepada usahanya yang terakhir untuk mempertahankan hidupnya.
Namun usahanya itu telah memberikan kesempatan Gandar untuk mencapainya. Dengan loncatan panjang, maka Gandar pun telah berdiri beberapa langkah dari menantu Ki Demang yang tegang.
“Ki Sanak,” berkata Gandar yang berhasil memancing perhatian perwira itu, “Apakah kau dapat berbangga dengan kemenangan kecilmu? Bukankah sudah sepantasnya jika seorang perwira dari Jipang berhasil mengalahkan seorang pedesan yang tidak pernah mempelajari oleh keprajuritan.”
“Persetan,” geram perwira itu. “Jadi kau juga akan turun ke arena dan akan mati pula.”
“Kedua kawanmu dan kedua pengawalmu sudah tidak berdaya. Apakah kau tidak akan menyerah?” bertanya Gandar.
“Seorang prajurit tidak mengenal arti menyerah,” berkata perwira itu. “Jika kau tidak ingin terbunuh juga, minggirlah.”
“Aku akan mengambil alih pertempuran ini,” jawab Gandar. Lalu katanya kepada menantu Ki Demang, “Kau dapat membantu kawanmu yang mengalami kesulitan itu.”
Menantu Ki Demang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia bergeser selangkah, sementara Gandar maju mendekati perwira yang mengacukan pedangnya itu.
“Licik,” geram perwira itu kepada menantu Ki Demang, “Kau tidak berani bertempur tanggon sebagai seorang laki-laki.”
Menantu Ki Demang itu tertegun. Wajahnya menjadi merah. Tetapi Gandarlah yang menjawab, “Apa katamu tentang kawan-kawanmu yang bertempur berpasangan? Jangan berbicara tentang harga diri. Kita semuanya sudah kehilangan harga diri itu di sini.”
Perwira itu menggeram, sementara Gandar mendesak, “Cepat, bantulah kawanmu yang gemuk itu.”
Menantu Ki Demang itu bagaikan tersadar dari mimpinya. Ia pun kemudian berlari-lari menuju ke arena yang lain, sementara Gandar telah mengambil alih kedudukannya dihadapan perwira Jipang yang tersisa itu.
Sementara itu, menantu Ki Demang itu pun datang tepat pada waktunya. Namun ujung pedang salah seorang di antara kedua lawan orang yang gemuk itu telah tergores ditubuhnya.
“Anak setan,” orang yang gemuk itu menggeram. Sementara itu tombak ditangannya segera berputar pula. Namun bagaimanapun juga ia mengalami banyak kesulitan menghadapi kedua orang lawannya. Apalagi karena pengerahan segenap kemampuannya telah membuatnya mulai merasa bahwa tenaganya telah susut. Lukanya yang meskipun tidak begitu dalam itu ternyata telah mempengaruhinya. Ketika ia meraba luka itu terasa darah yang meleleh di sela-sela jarinya. Bagaimanapun juga hatinya menjadi gelisah. Sementara kedua orang lawannya menjadi semakin garang, sebagaimana seekor serigala melihat seekor kelinci yang tidak sempat lagi melarikan diri.
Namun pada saat yang sulit itu ia melihat seseorang berlari ke arahnya. Belum lagi ia berhenti, telah terdengar suaranya, “Bertahanlah. Aku datang membantumu. Kita akan berhadapan dua melawan dua.”
Wajah orang yang gemuk itu menjadi tenang. Kedatangan menantu Ki Demang itu tentu akan melonggarkan kedudukannya, sehingga ia tidak lagi terjepit disudut halaman dan kehilangan kesempatan untuk bertahan.
Kedatangan menantu Ki Demang itu benar-benar mempengaruhi pertempuran itu. Seorang di antara kedua orang yang bertempur berpasangan itu terpaksa berpaling dan berteriak lantang, “Pengecut. Kenapa kau turut campur? Bukankah kau telah mempunyai lawan sendiri?” (Bersambung)-m.
472
KEPALA periwira itu terasa pening sekali. Matanya menjadi berkunang-kunang, sehingga akhirnya semuanya menjadi gelap. Seperti prajurit yang membantunya, maka perwira itu pun menjadi pingsan.
Gandar dan Kiai Badra pun kemudian telah terbebas dari lawan-lawannya. Karena itu, maka mereka pun mulai memandang ke arena pertempuran yang lain.
Keduanya pun melihat, bahwa menantu Ki Demang itu benar-benar berada dalam kesulitan. Sementara kawannya yang gemuk itu pun telah terdesak kesudut halaman.
“Ambil lawan menantu Ki Demang itu Gandar,” berkata Kiai Badra. “Kemudian biarlah menantu Ki Demang dan kawannya yang gemuk itu menghadapi bekas kawan-kawannya sendiri.”
Gandar mengerutkan keningnya. Namun ketika ia melihat keadaan menantu Ki Demang itu menjadi gawat maka ia pun segera meloncat mendekatinya.
Dalam pada itu, perwira yang bertempur melawan menantu Ki Demang itu sudah hampir sampai pada saat terakhir. Ia mendesak menantu Ki Demang yang bersenjata tombak itu. Dengan permainan pedangnya yang membingungkan, tombak ditangan menantu Ki Demang itu hampir tidak berarti. Sekali-sekali ujung tombak itu mampu menahan gerak maju lawannya. Tetapi tiba-tiba saja terasa tombak itu telah terpukul menyamping oleh pedang lawannya, sehingga pertahanannya menjadi terbuka. Ketika perwira itu menyerang, maka menantu Ki Demang hanya dapat berloncatan menghindari diri serta berusaha memperbaiki arah tombaknya untuk menahan gerak lawannya.
Namun akhirnya menantu Ki Demang yang selalu berloncatan mundur itu telah melekat dinding pringgitan. ia tidak lagi dapat bergeser mundur. Sementara itu lawannya selangkah demi selangkah telah bergerak maju sambil mengacungkan pedangnya.
“Kau tidak akan sempat menghindar lagi sekarang Ki Sanak,” berkata perwira Jipang itu. “Sebenarnya aku tidak mempunyai persoalan dengan kau. Tetapi agaknya kedua kawanmu itu, yang seorang adalah sanak kadangku, sebagaimana dengan kawanku yang berkumis lebat itu, minta kepadaku untuk membunuhmu. Aku tidak mengerti persoalan apakah yang sudah terjadi di antara kalian. Namun agaknya tunggul itu pun menjadi salah satu penyebabnya.”
“Kau lihat,” tiba-tiba saja menantu Ki Demang itu berdesis, “Kawan-kawanmu sudah tidak berdaya sama sekali.”
Perwira itu mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian mencoba melihat apa yang terjadi di halaman samping, di depan gandok. Semula ia tidak banyak menghiraukan pertempuran itu, karena ia yakin bahwa kawan-kawannya akan dapat dengan cepat menguasai tunggul itu. Apalagi perwira itu membelakanginya. Sementara itu ia memusatkan perhatiannya kepada menantu Ki Demang yang dengan gigih melawannya.
Perwira itu menjadi berdebar-debar. Pertempuran sudah berhenti. Namun ia tidak segera dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi.
Menantu Ki Demang yang putus asa itu, semula dengan tidak sengaja telah berpaling ke arah halaman samping. Dan menantu Ki Demang itu melihat bahwa Kiai Badra berdiri tegak dengan tunggul ditangannya, sehingga dengan demikian ia telah mengambil kesimpulan bahwa Kiai Badra telah menyelesaikan kedua lawannya. Pada saat yang demikian itulah, maka lawan menantu Ki Demang telah mengambil keputusan untuk membunuhnya karena ia sudah tidak sempat menghindar lagi.
Namun ia berhasil memperpanjang umurnya dengan menunjukkan kepada lawannya, bahwa pertempuran di halaman telah selesai. Benar atau tidak ia telah menyebut, bahwa kawan-kawan perwira itu sudah tidak berdaya lagi.
Sejenak kemudian perwira itu pun menggeram. Ia pun melihat bahwa orang tua yang membawa tunggul itu masih berdiri tegak, sementara ia melihat pula seorang telah berlari mendekatinya.
Karena itu, maka perwira itu harus bergerak dengan cepat. Dengan serta merta ia telah menggerakkan pedangnya untuk mengakhiri perlawanan menantu Ki Demang itu. Dengan demikian, maka ia akan dapat menyambut lawannya yang baru.(Bersambung)-m.
473
Tetapi menantu Ki Demang itu menjawab, “Aku sudah membunuh perwira-perwira Jipang itu. He, sekarang datang pilihanmu untuk dibunuh.”
Bekas kawannya yang berhubungan dengan saudara-saudaranya yang menjadi perwira Jipang itu mengumpat. Katanya, “Dan kau akan bertempur dengan licik.”
“Kenapa aku licik?” bertanya menantu Ki Demang itu.
“Kau campuri pertempuran yang hampir selesai ini. Kami hampir berhasil membunuh lawan kami,” jawab lawannya itu.
“O,” menantu Ki Demang yang sudah berdiri dekat arena itu pun bertanya, “Bagaimana dasar penilaianmu? Jika aku licik karena aku siap memasuki arena pertempuran ini, bagaimana dengan kau yang bertempur berpasangan?”
Lawannya itu tidak menjawab. Namun dengan serta merta ia telah meloncat menyerang dengan garangnya.
Menantu Ki Demang itu sempat mengelak. Sambil tertawa kecil ia menjawab, “Kau memang garang. Tetapi kau gagal mempergunakan saat lawanmu lengah. Sekarang aku benar-benar sudah siap untuk bertempur.”
Lawannya tidak menjawab. Serangannya pun datang beruntun dengan cepatnya. Tetapi menantu Ki Demang itu mempergunakan tombak pendek, sehingga sejenak kemudian, ia pun telah berhasil mengendalikan pertempuran itu. Dengan ujung tombaknya yang berputaran, terjulur dan kemudian mematuk, ia berhasil menahan serangan-serangan yang datang bagaikan banjir bandang.
Sejenak kemudian, maka yang terjadi adalah perang seorang melawan seorang sebagaimana kawannya yang bertubuh gemuk itu. Meskipun tubuhnya telah tergores oleh luka, namun ketika ia sudah kehilangan seorang lawannya, maka arena itu rasa-rasanya menjadi sedikit lapang. Orang berkepala kecil itu sempat menarik nafas dalam-dalam, sementara ujung tombaknya pun mampu menahan lawannya untuk bergeser surut.
“Setan,” geram lawan orang berkepala kecil itu, “Nyawamu sudah diujung rambutmu.”
“Tadi,” jawab orang berkepala kecil itu. “Sekarang nyawaku sudah menyuruk lagi masuk ke dalam ubun-ubun. Dan kau tentu tidak akan mampu menggapainya lagi.”
“Persetan,” lawannya mengumpat. Tetapi ketika ia dengan serta merta meloncat maju untuk menerkam dengan ujung pedangnya, maka sekali lagi langkahnya terhenti. Ujung tombak orang gemuk berkepala kecil itu telah menahannya.
Dengan demikian, maka pertempuran antara orang-orang yang pernah bekerja bersama itu menjadi semakin seru. Masing-masing berusaha untuk mengakhiri pertempuran itu sampai tuntas. Orang-orang yang bekerja bersama dengan para perwira dari Jipang itu benar-benar ingin membunuh menantu Ki Demang dan kawannya yang dianggap akan dapat menjadi penghalang untuk selanjutnya, dan bahkan mungkin mereka akan melaporkannya kepada Ki Demang. Sementara itu, menantu Ki Demang pun agaknya ingin membungkam lawannya agar rahasianya tidak akan terbuka sama sekali kapanpun juga.
Namun ternyata bahwa menantu Ki Demang itu memang memiliki kelebihan. Dengan kemampuannya yang melampaui tingkat kemampuan lawannya, maka ujung tombaknya telah mulai menyentuh tubuh lawannya.
Lawannya mengumpat kasar. Namun satu kenyataan. Tubuhnya telah terluka.
Menantu Ki Demang itu tertawa. Katanya, “Jika sejak semula kau menyadari kekeliruan langkahmu, maka kau tidak akan mengalami nasib buruk.”
“Jangan mengigau. Bersiaplah untuk mati,” geram lawannya.
Menantu Ki Demang terkejut ketika lawannya itu kemudian meloncat menyerang sambil memukul tombaknya, sebagaimana ia menyibakkan ujung pagar yang runcing.
“O,” menantu Ki Demang itu justru meloncat surut. Sementara lawannya itu pun telah memburunya. Serangannya pun telah datang pula beruntun, tidak henti-hentinya.
Beberapa kali menantu Ki Demang itu harus berloncatan surut. Namun ia sama sekali tidak merasa terdesak. Ia sadar bahwa lawannya ingin menghentaknya dan kemudian mempergunakan kesempatan itu untuk menemukan kelemahan padanya.(Bersambung)-m.
474
Tanggal: Senin, 13-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)
Satu kesempatan yang tidak disia-siakan oleh lawannya. Karena itu, maka dengan satu loncatan panjang lawannya mengayunkan pedangnya mendatar tepat ke arah leher menantu Ki Demang.
Tetapi yang terjadi adalah justru sebaliknya. Bukan leher menantu Ki Demang yang tertebas putus, tetapi menantu Ki Demang itu justru telah berjongkok sambil mengacukan ujung tombaknya.
Terdengar teriakan nyaring. Ujung tombak menantu Ki Demang itu ternyata telah tertancap di dada salah seorang bekas kawannya yang kemudian telah memisahkan diri karena sikap yang berbeda.
Perlahan-lahan menantu Ki Demang itu pun kemudian berdiri. Ditariknya ujung tombaknya. Demikian ujung tombak itu terlepas dari dada lawannya, maka orang itu pun terjatuh menelungkup. Darah yang merah telah mengucur dari lukanya yang tembus sampai ke punggung bahkan menyentuh jantungnya.
Menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya tubuh yang terbaring diam itu.
“Orang itu tidak akan dapat membuka rahasiaku lagi,” berkata menantu Ki Demang di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, ketika ia mengangkat wajahnya dan memandang kawannya yang gemuk itu, maka ia pun menjadi berdebar-debar. Ia melihat kedua orang yang bertempur itu masing-masing sudah terbaring diam. Sementara itu, Kiai Badra yang masih membawa tunggulnya berjongkok disampingnya.
Dengan tergesa-gesa ia meloncat mendekatinya. Ketika dengan tergesa-gesa ia berjongkok disamping Kiai Badra, maka Kiai Badra pun berdesis, “Keduanya telah menyelesaikan pertempuran ini dengan akhir yang pahit.”
Menantu Ki Demang itu berusaha mengguncang tubuh kawannya yang gemuk dan berkepala kecil itu. Tetapi Kiai Badra berdesis, “Ia sudah meninggal. Namun lawannya pun telah terbunuh pula.”
Menantu Ki Demang itu menundukkan kepalanya. Dengan suara lirih ia berkata, “Ia adalah sahabat yang sangat baik. Kasihan. Ia mati karena ia berusaha untuk ikut menjaga nama baikku.”
Kiai Badra mengangguk-angguk. Katanya, “Orang ini memang pantas untuk dihormati. Khususnya oleh keluargamu. Ia telah menunjukkan kesetiaan seorang sahabat.”
Wajah menantu Ki Demang itu menjadi semakin sendu. Namun Kiai Badra pun berkata, “Tetapi beruntunglah orang ini, bahwa ia tidak mati sebagai seorang perampok yang akan dicampakkan ke dalam kubur dengan iringan caci dan maki.”
Menantu Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Ia mati sebagai seorang sahabat yang baik. Dan ia akan dihormati oleh seisi padukuhan, bahkan Kademangan ini.”
Kiai Badra pun kemudian berdiri sambil berdesis, “Masih ada seorang yang perlu kita perhatikan.”
Menantu Ki Demang itu pun bangkit pula. Namun ternyata bahwa mereka sudah tidak melihat lagi pertempuran. Gandar berdiri tegak disebelah sosok tubuh yang terbaring diam.
“Apakah kau membunuhnya?” bertanya Kiai Badra.
Gandar menggeleng. Katanya, “Ia tidak mati.”
Menantu Ki Demang pun kemudian bersama Kiai Badra melangkah mendekatinya. Sebenarnyalah bahwa orang itu masih hidup. Tetapi luka-luka di bagian dalam tubuhnya telah membuatnya tidak berdaya untuk melawan.
Kiai Badra pun kemudian berkata kepada menantu Ki Demang, “Mereka memerlukan perawatan. Yang terbunuh harus diselenggarakan sebaik-baiknya, sementara yang terluka memerlukan pengobatan.”
Menantu Ki Demang itu pun mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Biarlah aku memanggil para pelayanku. Biarlah mereka membantu.”
(Bersambung)-m
475
Menantu Ki Demang itu pun kemudian memanggil beberapa orang laki-laki yang juga tinggal di rumah itu. Namun mereka adalah laki-laki yang tidak akan dapat membantunya dalam kesulitan pertempuran. Jika mereka harus tampil juga dipertempuran, maka hanya berarti memperbanyak korban saja.
Orang-orang itulah yang kemudian harus mengumpulkan para prajurit Jipang yang terluka. Mereka ditempatkan di gandok, di dalam bilik yang khusus.
“Persetan,” geram salah seorang dari perwira itu ketika Kiai Badra berusaha mengobatinya, “Kenapa kau tidak membunuhku?”
“Kalian adalah prajurit-prajurit Jipang. Kami sampai saat ini masih membatasi persoalan dengan prajurit-prajurit Jipang.”
“Tetapi bukankah kalian orang-orang Pajang?” bertanya perwira itu.
“Ya. Kami orang-orang Pajang. Bukan prajurit-prajurit Pajang,” jawab Kiai Badra pula.
“Tetapi kalian akan menyesal bahwa kalian tidak membunuh kami. Jika kalian biarkan kami kembali ke dalam kesatuan kami, maka mungkin kami pun akan kembali ke rumah ini dan menghancurkan seluruh isinya.”
“Jika demikian maka kita akan bertemu lagi,” jawab Kiai Badra pula. “Mungkin aku atau Gandar akan dipanggil dalam kesatuan-kesatuan keprajuritan. Mudah-mudahan kita dapat bertemu dan bertempur dalam kedudukan yang sejajar.”
“Anak iblis,” geram perwira dari Jipang itu. “Kalian telah menghina kami. Bukan watak kami berterima kasih karena kami tidak terbunuh dalam kekalahan seperti ini.”
“Terserah kepada kalian,” jawab Kiai Badra.
Namun Gandar yang mulai jengkel menjawab, “Terima kasih atau tidak, itu bukan persoalan kami. Kami telah merasa bersyukur bahwa kami mendapat kesempatan untuk tidak membunuh lawan-lawan kami.”
Perwira-perwira Jipang itu menggeram. Seorang di antara mereka berkata, “Bagaimanapun juga kami tetap seorang prajurit. Kami tidak pernah merasa menyerah dan minta dihidupi.”
“Cukup,” Gandarlah yang memotong pembicaraan itu, “Aku tidak perlu sesorahmu. Aku akan berbuat sebagaimana ingin kami perbuat. Kalian bukan apa-apa bagi kami.”
Para perwira itu benar-benar merasa terhina. Seorang di antara mereka berkata, “Apa hakmu membentak kami?”
Wajah Gandar menjadi merah. Tetapi Kiai Badralah yang menyahut, “Tidak ada hak kami membentak kalian. Gandar juga tidak membentak. Ia hanya menyatakan kejengkelan perasaannya, karena ia menghadapi sikap kalian yang tidak wajar? Kenapa kalian bersikap seperti itu. Kalian tidak usah berusaha untuk menutup-nutupi kekurangan kalian dengan tingkah laku yang aneh-aneh begitu. Justru bagi seorang laki-laki, maka ia akan menerima kenyataan sebagaimana adanya. Kenyataan itu adalah bahwa kami telah mengalahkan kalian. Kenapa kalian berpura-pura tidak mau menerima kenyataan, bahwa kami memang tidak membunuh kalian?”
Para perwira Jipang itu termangu-mangu. Sementara Kiai Badra berkata selanjutnya, “Sebaiknya kita berhubungan sebagaimana hubungan antara sesama. Jangan terlalu membatasi diri dengan kedudukan dan keyakinan. Kami tahu bahwa kiblat di antara kita tidak sama. Tetapi biarlah yang tidak sama itu tidak sama. Tetapi pada hakikatnya, apakah perbedaan di antara kita?”(Bersambung)-o.
Tanggal: Selasa, 14-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)
Dalam pada itu, menantu Ki Demang itu pun kemudian telah mendapatkan istrinya yang mendekap anaknya yang kecil di dalam biliknya. Seorang perempuan tua mengawaninya. Sementara anaknya yang besar masih tidur dengan nyenyaknya.
Dengan suara gagap terdengar istrinya itu berdesis, “Kakang, apa yang telah terjadi?”
Menantu Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan suara dalam, “Semuanya sudah selesai. Yang Maha Agung telah melindungi kita.”
“Jadi?” bertanya istrinya pula.
“Kami berhasil menguasai keadaan,” jawab menantu Ki Demang itu. “Tetapi benar-benar karena pertolongan Tuhan. Jika dua orang kawanku itu tidak bermalam di rumah ini, mungkin keadaannya akan berbeda.”
“O,” istrinya mendekap anaknya semakin erat.
“Sudahlah. Beristirahatlah. Kau tidak perlu cemas lagi. Semuanya sudah selesai. Sebentar lagi, tentu orang-orang Kademangan akan datang,” berkata suaminya.
Sebenarnyalah, menantu Ki Demang telah mengirimkan seorang pembantunya untuk memberitahukan kepada mertuanya, bahwa telah terjadi perampokan di rumahnya.
Namun sementara itu, atas persetujuan menantu Ki Demang Kiai Badra yang telah mengobati para perwira dari Jipang itu bertanya, “Apakah kalian dapat meninggalkan tempat ini?”
“Kenapa?” bertanya salah seorang di antara para perwira itu.
“Sebentar lagi tempat ini akan penuh dengan orang-orang Kademangan ini,” jawab Kiai Badra. “Mungkin mereka akan bersikap kasar terhadap kalian.”
“Aku tidak takut seandainya mereka membunuh aku,” geram salah seorang di antara mereka.
“Bukan soal takut atau tidak takut,” jawab Kiai Badra. “Tetapi aku tidak mau terjadi keributan lagi.”
Para perwira itu termangu-mangu. Namun menantu Ki Demang itulah yang kemudian berkata meskipun agak ragu, “Biarlah mereka kita letakkan dibelakang. Di bilik para pembantuku.”
Kiai Badra mengangguk-angguk. Dengan wajah ragu ia berkata kepada para perwira itu, “Jangan menolak. Yang kami lakukan ini bukan apa-apa.”
Para prajurit Jipang itu tidak menolak. Mereka kemudian dibawa ke bagian belakang rumah itu agar tidak menimbulkan persoalan baru dengan orang-orang padukuhan yang tentu akan berdatangan.
Kepada para pembantunya menantu Ki Demang itu pun telah berpesan, agar mereka tidak menyebut-nyebut orang-orang yang ada di dalam bilik mereka.
“Orang-orang itu adalah prajurit-prajurit Jipang yang sebenarnya tidak terlibat dalam perampokan ini. Tetapi mereka terkait karena seorang di antara para perampok adalah seorang yang masih mempunyai hubungan darah dengan mereka, yang mungkin dengan dalih apapun juga, sehingga prajurit-prajurit itu terjebak ke dalam tindak kekerasan ini,” berkata menantu Ki Demang.
Para pembantunya termangu-mangu. Seorang di antara mereka bertanya. “Karena mereka sudah terlibat, bukankah seandainya mereka dibunuh tidak akan ada persoalan?”
“Jangan berkata begitu?” jawab menantu Ki Demang. “Mereka adalah prajurit-prajurit Jipang. Jika seorang saja di antara mereka terbunuh disini, maka Kademangan ini akan dihancurkan. Kau harus tahu, bahwa disebelah perbatasan terdapat sepasukan prajurit Jipang. Jika mereka mendengarnya, maka Kademangan ini akan mengalami mala petaka. Tentu akan berbeda sikap mereka, jika mereka tetap hidup dan kita perlakukan dengan baik, meskipun mereka tetap mengancam. Namun kita masih yakin akan kebeningan hati nurani mereka sebagai manusia, sehingga mereka tidak mendendam kita.”
Para pembantunya mengangguk-angguk. Agaknya keterangan menantu Ki Demang itu dapat dimengerti pula. (Bersambung)-m
Tanggal: Rabu, 15-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)
Tetapi ketika mereka sampai di rumah itu, keadaan telah menjadi tenang. Ki Demang telah ditemui oleh menantunya di halaman, sementara para pembantunya termangu-mangu menyaksikan kehadiran orang-orang padukuhan itu.
“Syukurlah, bahwa kesulitan telah teratasi,” berkata Ki Demang kepada menantunya.
“Ada beberapa orang yang telah menolong aku,” berkata menantu Ki Demang yang kemudian memperkenalkannya dengan Kiai Badra dan Gandar yang telah menyembunyikan tunggulnya dibalik selongsongnya.
Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak sempat tahu terlalu banyak tentang Kiai Badra dan Gandar, karena menantu Ki Demang itu telah menyebut pula seorang sahabatnya yang terbunuh.
“Kasihan,” desis Ki Demang, yang kemudian bertanya, “Jadi ada berapa orang yang terbunuh?”
“Seorang sahabatku yang harus mendapatkan penghormatan dari orang-orang padukuhan ini, karena telah ikut mempertahankan rumah ini dengan mengorbankan jiwanya,” berkata menantu Ki Demang.
Ki Demang masih mengangguk-angguk. Namun segalanya masih harus dikerjakan jika matahari telah naik.
Demikianlah Kademangan itu telah disibukkan dengan penguburan beberapa orang dalam suasana yang berbeda. Di antara mereka yang dianggap sebagai perampok yang ingin merampok rumah menantu Ki Demang, terdapat seorang pahlawan yang dihormati oleh seisi Kademangan. Bahkan oleh menantu Ki Demang, keluarganya telah diberinya sekadar uang untuk membantu upacara yang harus dilakukan.
Kepada Ki Demang, menantunya mengatakan, bahwa ia tidak dapat menyebut jumlah perampok yang datang ke rumahnya dengan pasti, karena perkelahian yang kemudian terjadi menjadi kisruh. Tetapi ada di antara mereka yang tidak terbunuh, sempat melarikan diri meninggalkan halaman rumahnya.
“Kenapa kau tidak memberikan isyarat dengan kentongan?” bertanya Ki Demang. “Kami tidak sempat melakukannya,” jawab menantunya. “Tiba-tiba saja kami sudah terlibat ke dalam pertempuran yang membingungkan.”
Namun dalam pada itu, yang terjadi di rumah menantu Ki Demang itu seakan-akan merupakan satu peristiwa yang telah mencuci namanya. Dengan demikian, maka segalanya yang buram yang pernah dilakukannya telah dihapuskan, meskipun seorang di antara kawannya harus menjadi korban dalam pembersihan nama itu, sementara dua orang kawannya yang lain mati sebagai perampok-perampok.
Ketika keadaan rumah menantu Ki Demang itu sudah sepi kembali, maka Kiai Badra dan Gandar pun dipersilakannya untuk mencari pemecahan tentang orang-orang Jipang yang masih ada di rumahnya.
“Apakah yang sebaiknya kami lakukan dengan mereka?” bertanya menantu Ki Demang itu.
“Mereka tentu sudah berangsur baik. Kita tawarkan saja kepada mereka, apakah mereka akan tinggal disini untuk sementara atau mereka akan segera kembali kepada pasukannya,” jawab Kiai Badra. “Tetapi mereka tentu tidak akan berani terlalu lama berada disini, karena mereka akan dapat dianggap melarikan diri dari kesatuan mereka. Aku yakin bahwa, kepergian mereka kepada saudaranya itu tentu tidak sepenuhnya mengemban tugas dari pimpinan pasukannya, karena kepergian mereka tidak ada hubungannya dengan keinginan mereka memiliki sesuatu yang bukan hak mereka, meskipun ada juga alasannya yang lain sebagaimana pernah kau sebut, bahwa mereka telah mendorong langkah-langkah seperti yang telah kalian lakukan agar timbul kesan, bahwa Pajang tidak lagi terasa tenang.”
Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi aku masih mohon bantuan Kiai, agar Kiai dapat menyampaikannya kepada mereka.” (Bersambung)
Tanggal: Kamis, 16-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)
“Hanya sebentar. Bukankah tidak akan makan waktu yang lama?” desis menantu Ki Demang.
Kiai Badra memandang Gandar sejenak, seakan-akan minta pertimbangannya. Tetapi Gandar hanya menundukkan kepalanya saja.
Karena itu, maka Kiai Badra pun berkata, “Baiklah. Aku akan menemui mereka.”
Di antar oleh menantu Ki Demang dan Gandar, Kiai Badra telah pergi untuk menemui orang-orang Jipang yang berada di bilik para pembantu menantu Ki Demang. Sebagaimana yang sudah disepakati, maka Kiai Badra pun telah menawarkan kepada orang-orang Jipang itu, apakah mereka akan tinggal di rumah ini sampai keadaan mereka menjadi baik, atau mereka akan kembali ke kesatuan mereka.
“Persetan,” geram salah seorang perwira, “Jangan terus-terusan menghina kami.”
Kiai Badra mengerutkan keningnya. Sementara perwira itu berkata selanjutnya, “Kau sadar, bahwa kau berkuasa atas kami. Katakan, apa yang kau kehendaki sebenarnya. Aku menjadi tawananmu, atau kau akan membunuhku bersama kawan-kawanku.”
Wajah Kiai Badra menegang. Namun ia pun mulai berkata keras, “Sikapmu berlebihan. Aku tahu, bahwa kau ingin menunjukkan sikap perwiramu. Tetapi tidak perlu dengan permainan yang memuakkan begitu. Sekarang jawab. Jika kau sudah mampu berjalan, tinggalkan tempat ini dan kembalilah ke dalam kesatuanmu agar kau tidak menjadi beban disini. Bukan saja beban untuk melayani makan dan minummu, tetapi juga beban tanggung jawab, karena kau berada di daerah Pajang.”
Para perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya yang berkumis tebal itu pun berkata, “Kami akan kembali ke kesatuan kami.”
Kiai Badra menarik nafas dalam-dalam.
“Jika demikian berbenahlah. Kalian harus meninggalkan tempat ini tanpa menarik perhatian,” berkata Kiai Badra.
Para prajurit Jipang itu pun kemudian membenahi diri. Mereka memang masih nampak lemah dan sakit di dalam tubuh mereka. Tetapi mereka pun menganggap bahwa lebih baik kembali ke dalam kesatuan mereka, agar mereka tidak terlalu lama pergi, sehingga akan dapat menimbulkan prasangka pula di antara kawan-kawannya sendiri.
“Mereka akan dapat mengira bahwa aku mendapat bagian yang terlalu banyak sehingga perlu disembunyikan,” berkata salah seorang di antara mereka itu di dalam hatinya.
Demikianlah, maka setelah mereka berbenah diri dan tidak lagi menarik perhatian, maka mereka pun telah meninggalkan Kademangan itu tanpa singgah di rumah saudaranya yang telah terbunuh.
Namun, satu hal yang tidak diduga oleh menantu Ki Demang, ketika para perwira yang garang itu meninggalkan regol halaman rumahnya, orang berkumis lebat, yang menurut ujud wajahnya adalah seorang yang keras kasar itu telah berdesis, “Terima kasih atas sikap kalian terhadap kami.”
Menantu Ki Demang itu justru termangu-mangu. Namun Kiai Badra lah yang menjawab, “Mudah-mudahan kalian selamat sampai ke kesatuan kalian.”
Orang berkumis itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi, sementara kawannya pun hanya berdiam diri saja sambil melangkah menjauh.
Namun dalam pada itu, Kiai Badra berkata kepada menantu Ki Demang ketika orang-orang yang masih lemah itu menjadi semakin jauh, “Nampaknya, mereka tidak akan mengganggu Kademangan ini.”
Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Menilik sikapnya, maka mereka tidak mendendam. Tetapi sikap itu baru nampak pada saat terakhir.”
“Ya. Aku kira Kademangan ini tidak perlu merasa cemas bahwa mereka akan mendendam. Betapa kasarnya seseorang, ia dapat menilai sikap orang lain kepada dirinya.”
Menantu Ki Demang itu berdesis, “Kami mengucapkan terima kasih kepada Kiai. Langkah yang Kiai ambil ternyata telah memberikan hari-hari depanku yang terang. Sekaligus menyelamatkan aku dari dendam orang-orang Jipang itu.”
(Bersambung)-m
Tanggal: Jumat, 17-10-2003
Topik: SH Mintardja (Cerbung)
“Aku sudah menyadari kesesatan ini,” berkata menantu Ki Demang itu. “Karena itu, aku tidak akan mengulanginya.
Sementara itu Kiai Badra dan Gandar pun kemudian minta diri. Mereka tidak ingin tertahan lebih lama lagi di Kademangan itu. Namun dalam pada itu, Kiai Badra pun berkata, “Tetapi bukankah Kademangan ini bukannya kademangan yang tidak mampu berbuat sesuatu. Maksudku, jika terpaksa bukankah Kademangan ini memiliki pengawal yang akan dapat melakukan sesuatu, betapapun kecil artinya?”
“Ada Kiai,” jawab menantu Ki Demang. “Tetapi sungguh tidak berarti sama sekali. Anak-anak muda yang meronda hanya sekadar dapat membangunkan orang-orang yang tertidur nyenyak. Tetapi jika mereka dipaksa untuk memasuki benturan kekuatan, aku tidak dapat mengatakannya, apakah mereka akan dapat memberikan arti atau hanya akan menambah korban saja.”
“Ki Sanak,” berkata Kiai Badra. “Saat ini Pajang sedang menghadapi keadaan yang gawat. Jipang benar-benar telah menempatkan pasukannya di mulut gerbang kota, dari sebelah menyebelah. Karena itu, maka Pajang memerlukan seluruh kekuatan yang ada, yang pada saatnya tentu akan digerakkan.”
“Sebenarnya kami juga dapat membantu, tetapi hanya dengan jumlah tenaga. Tidak dengan kemampuan,” berkata menantu Ki Demang itu.
“Waktunya memang sudah terlalu pendek. Tetapi apa salahnya jika kau berusaha untuk menghimpun mereka. Meskipun hanya satu dua hari, namun sudah tentu akan ada gunanya, jika kau ajari mereka, bagaimana caranya memegang senjata. Bukankah kau memiliki kemampuan untuk itu?”
“Ah,” menantu Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam, “Apa artinya kemampuanku menghadapi kekuatan raksasa dari Jipang itu.”
“Jika Kademangan ini sendiri harus menghadapinya, memang tidak akan berarti apa-apa. Tetapi jika semua Kademangan mempersiapkan anak-anak mudanya, maka keadaannya tentu akan berbeda. Mungkin secara pribadi, anak-anak muda itu tidak berarti dalam olah kanuragan. Tetapi dalam jumlah yang besar, serta kemampuan dasar memegang senjata, maka mereka akan memberikan arti yang besar bagi Pajang.”
Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Badra berkata, “Kau adalah menantu Ki Demang. kau tentu mempunyai pengaruh yang besar pada anak-anak mudanya.”
Menantu Ki Demang itu menunduk. Desisnya, “Selama ini aku kurang bergaul dengan mereka.”
“Belum terlambat,” berkata Kiai Badra, “Kau dapat memulainya.”
Menantu Ki Demang itu mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah ia berjanji kepada diri sendiri, bahwa ia akan mulai dengan satu langkah yang memberikan arti kepada Kademangannya. Ia tidak sebaiknya hanya sebagai sesuatu bagi kepentingan diri sendiri. Apalagi dengan cara yang pernah ia tempuh, meskipun dengan demikian ia menjadi disegani karena kekayaannya yang dengan cepat menanjak.
“Kiai,” berkata menantu Ki Demang. “Aku akan berusaha. Selama ini aku berjuang untuk membuat diriku kaya, bahkan dengan cara yang paling buruk. Ketika aku mengawini anak Ki Demang, maka beberapa orang menghinaku, bahwa aku sebenarnya hanya ingin menghisap kekayaan Ki Demang saja, karena aku termasuk orang yang tidak berkecukupan. Tetapi aku dan istriku saling mencintai. Sehingga akhirnya aku telah bertekad untuk melakukan apa saja asal aku dapat membuktikan bahwa aku tidak sekadar menghisap kekayaan istriku, tetapi justru aku dapat membuatnya lebih kaya lagi. Dengan kedok seorang saudagar keliling, dengan sedikit modal yang memang aku dapatkan dari istriku, maka aku telah melakukan pekerjaan terkutuk itu.”
“Semuanya sudah lampau. Kau dapat bekerja dengan wajar. Bukankah kau mempunyai sawah?” bertanya Kiai Badra.
“Sawahku sekarang cukup luas,” jawab menantu Ki Demang itu.
(Bersambung)-m
No comments:
Post a Comment